Mereka yang (Pernah) Melayani

 

 

“Engkau akan menjadi seorang pelayan Kristus Yesus yang baik, terdidik dalam soal-soal pokok iman kita dan dalam ajaran sehat yang telah kau ikuti selama ini.”

(1 Tim 4: 6)

Gambar. Pastor Petrus Middeldorp, SCJ, pastor Paroki Santo Yoseph yang pertama.

Bertepatan dengan pendirian Paroki Santo Yoseph, Pastor Middeldorp memperoleh seorang rekan pastoral dengan datangnya Pastor Aloysius Fransiscus van de Genugten, SCJ, misionaris SCJ asal Belanda.  Sebelumnya dia pernah menjadi pastor pembantu di Paroki Santo Petrus dan Paulus Baturaja dan Paroki Santo Fransiskus de Sales, Sei Buah. Pastor van de Genugten tidak lama berkarya di Paroki Santo Yoseph. Dia pulang ke Belanda menjelang akhir tahun 1970. Selain Pastor van de Genugten, pada tahun 1968 Pastor Middeldorp memperoleh seorang rekan kerja dengan hadirnya Pastor Zdzislaus Slupczynki, SCJ, misionaris SCJ asal Polandia. Pastor ini baru tiba dari Polandia. Dia tinggal di Paroki Santo Yoseph mempersiapkan diri memulai karya kerasulannya sembari belajar Bahasa Indonesia. Namun Pastor Slupczynki tidak lama bekerja membantu Pastor Middeldorp, kira-kira hanya setahun lamanya.

Pastor van Gisbergen, yang pernah menjadi pastor Paroki Hati Kudus, memperoleh tugas melayani para pasien di RS Charitas pada Mei 1970. Sembari menjalankan tugasnya itu, dia membantu reksa pastoral di Paroki Santo Yoseph. Pastor van Gisbergen setia mendampingi  orang sakit hingga tutup usia pada 18 Mei 1991. Jenasahnya dimakamkan di pemakaman RS Charitas.

42Pastor Petrus van Gisbergen, SCJ, yang pernah menjadi pastor Paroki Hati Kudus, pastor pembantu di Paroki Santo Yoseph, menjadi rektor RS Charitas dan mendampingi para pasien di RS Charitas.

Sekitar pertengahan Maret 1970, datanglah Pastor Fransiscus Siemerink, SCJ, misionaris SCJ dari Provinsi SCJ Belanda. Mulai awal Agustus 1970, Pastor Siemerink ditugaskan menjadi pastor pembantu di Paroki Santo Yoseph, menemani Pastor Middeldorp. Dia menjadi pastor pembantu hingga Januari 1974 dan memperoleh tugas baru menjadi pastor di Paroki Santa Maria Tugumulyo, Musi Rawas. Namun pada Januari 1979, Pastor Frans Simerink kembali bertugas di Paroki Santo Yoseph sebagai pastor pembantu.

Gereja Santo Yoseph dan umat Katolik Santo Yoseph menjadi saksi tumbuhnya benih-benih panggilan hidup membiara dengan ditahbiskannya beberapa frater menjadi imam oleh Uskup Palembang, Mgr. Joseph Soudant. Pada tahun 1969, bertempat di gereja Santo Yoseph, Mgr. Soudant mentahbiskan Frater Yohanes Hendra Aswardani sebagai imam SCJ. Pastor Hendra Aswaradani diangkat sebagai pastor pembantu di Paroki Santo Yoseph pada tahun 1974. Selain ditugaskan menjadi pastor pembantu, dia juga ditugaskan melayani umat Katolik di beberapa stasi di Palembang. Pada tahun 1976 Pastor Hendra Aswardani pindah menjadi pastor Paroki  Santo Paulus Plaju. Penggantinya di Paroki Santo Yoseph adalah Pastor Stephanus Endrakaryanta, SCJ mulai Januari hingga Desember 1976. Pastor Hendra Aswardani juga pernah menjadi pastor pengganti di Paroki Santo Yoseph tatkala Pastor Middeldorp berangkat cuti ke Belanda pada tahun 1989.

            Pastor Cornelius (Cees) van Paassen, SCJ diangkat sebagai pastor di Paroki Santo Yoseph pada tahun 1983. Selain menjadi pastor paroki, Pastor Cees van Paassen juga menjadi staf ahli Medical Pastoral Care di RS Charitas. Pastor Cees van Paassen hanya berkarya di Paroki Santo Yoseph sampai September 1985. Kemudian Pastor Cees van Paassen memperoleh tugas baru sebagai wakil Provinsi SCJ Indonesia dan menjadi pastor Paroki Katedral Santa Maria Palembang. Pastor Cees van Paassen digantikan oleh Pastor Titus Purbasaputra, SCJ.

Pastor Titus Purbasaputra lahir di Pringsewu pada 3 Januari 1954. Masuk SCJ pada 30 Januari 1979 dan ditahbiskan pada 30 Juni 1982. Selama menjadi frater, Pastor Titus Purbasaputra pernah menjalani TOP (Tahun Orientasi Pastoral) di Paroki Santo Yoseph dari Januari 1978 sampai Desember 1979. Pada September 1985, Pastor Titus Purbasaputra diangkat sebagai pastor Paroki Santo Yoseph. Setelah menjadi pastor Paroki Santo Yoseph, dia pindah menjadi pastor Paroki Hati Kudus, Palembang.

43Gambar Pastor Titus Purbasaputra, SCJ, pastor Paroki Santo Yoseph dari tahun 1985 sampai tahun 1988. Sekarang berkarya di Paroki Para Rasul Kudus, Tegalsari.

Pada Agustus 1988, Pastor Ambrosius Maria Dhani Indrata, SCJ diangkat sebagai pastor Paroki Santo Yoseph. Imam SCJ yang dilahirkan di Promasan, Kulon Progo, Yogyakarta pada 12 April 1944 ini masuk Kongregasi SCJ pada tahun 1965 dan ditahbiskan menjadi imam SCJ di Gisting pada tahun 1972.

Pada masa Pastor Dhani Indrata menjadi pastor paroki, dirayakan pesta perak Paroki Santo Yoseph pada tahun 1992. Semangat perayaan pesta perak paroki sangat membawa rahmat bagi Paroki Santo Yoseph, khususnya kesadaran baru bagi umat untuk selalu proaktif dan dinamis dalam menanggapi panggilan sebagai umat Allah. Pada masa Pastor Dhani Indrata pula, gedung gereja mengalami renovasi dan pembangunan menara gereja. Pastor Antonius Yuswita, SCJ (sekarang Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Palembang) pernah menjadi pastor pembantu di Paroki Santo Yoseph sejak Juli 1991 hingga Januari 1993. Juga Pastor Yohanes Harry Subekti, SCJ yang sempat tinggal di Pastoran Santo Yoseph. Dia diangkat sebagai pastor Paroki Santo Stefanus Talang Betutu.

44Gambar  Pastor Ambrosius Dhani Indrata, SCJ, pastor Paroki Santo Yoseph dari tahun 1988-1994. Sekarang berkarya di Paroki Santa Maria, Tugumulyo, Musi Rawas.

Jabatan Pastor Dhani Indrata berakhir pada tahun 1994. Penggantinya Pastor Yulianus Puryanto, SCJ. Imam SCJ yang dilahirkan di Dlinseng, Yogyakarta, pada 9 Januari 1950, masuk Kongregasi SCJ pada tahun 1975 dan ditahbiskan menjadi imam SCJ di Gisting pada tahun 1978. Pada masa Pastor Puryanto menjabat pastor Paroki Santo Yoseph, kehidupan menggereka diungkap secara terbuka, didiskusikan, dan dievaluasi, serta disusun rumusan-rumusan dalam visi dan misi Paroki Santo Yoseph. Dalam rangka melibatkan umat secara aktif, Pastor Puryanto mengajak pengurus dewan paroki dan pengurus lingkungan agar lebih memahami Pedoman Dasar Dewan Paroki sebagai pedoman pelayanan dewan paroki. Untuk para pengurus lingkungan, Pastor Puryanto mencoba mengadakan konsolidasi kepengurusan lingkungan, memahami perannya, dan sekaligus menggagas kemungkinan pengembangan lingkungan-lingkungan baru. Tema “Gereja yang Mandiri” senantiasa ditegaskan oleh Pastor Puryanto kepada jajaran pengurus dewan pastoral, wilayah, dan lingkungan.

Paroki Santo Yoseph mulai dipercayakan kepada para imam diosesan Keuskupan Palembang. Pada tahun 1997 jabatan Pastor Puryanto sebagai pastor Paroki Santo Yoseph berakhir, digantikan Pastor Bonifasius Djuana, Pr. Pergantian dari Pastor Puryanto kepada Pastor Bonifasius Djuana menjadi awal dari penyerahan Paroki Santo Yoseph kepada para imam diosesan Keuskupan Palembang. Pastor Bonifasius Djuana tidak asing dengan Paroki Santo Yoseph. Sebab dia sudah tinggal dan melayani umat di paroki ini sejak tahun 1995. Pada waktu itu dia tinggal bersama Pastor Puryanto (pastor Paroki Santo Yoseph), Pastor Egidius Warsito, dan Pastor Hari Subekti.

45Gambar Pastor Puryanto, SCJ, pastor Paroki Santo Yoseph Palembang dari tahun 1994-1997. Sekarang menjadi pastor Paroki Rasul Barnabas Pamulang.

Pada masa Pastor Bonifasius Djuana, Paroki Santo Yoseph sudah memiliki 32 lingkungan yang dikoordinasikan dalam 10 wilayah. Sebagai paroki yang memiliki wilayah pelayanan yang luas dan jumlah umat yang besar, Pastor Bonifasius Djuana melihat pentingnya konsolidasi dan koordinasi reksa pastoral khususnya dalam dewan paroki, pengurus wilayah, dan pengurus lingkungan. Pada masa Pastor Bonifasius Djuana, sarana-sarana pelayanan rohani bagi umat ditingkatkan seperti pembukaan toko rohani dan perluasan pastoran agar dapat mendukung kegiatan umat.

Pada tahun 2003, Vatikan meningkatkan kedudukan Keuskupan Palembang menjadi Keuskupan Agung Palembang dan mengangkat Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ sebagai Uskup Agung Palembang yang pertama. Misa Kudus dan perayaan meriah dalam rangka penetapan Keuskupan Agung Palembang dilaksanakan di Gereja Santo Yoseph. Dalam Misa Kudus itu, Mgr. Sudarso, SCJ ditahbiskan menjadi uskup agung.

Selain kesibukan melayani paroki, pada tahun 2001 Pastor Bonifasius Djuana dipercaya untuk memimpin Yayasan Sosial Pansos Bodronoyo menggantikan Pastor Petrus Abdi Putrarahardja, SCJ yang meninggal dunia. Dalam pelayanan pastoral, Pastor Bonifasius Djuana dibantu Pastor Guido Suprapto, Pr dan Pastor Laurentius Marsudi, Pr.

Pada tahun 2007 Pastor Yohanes Kristianto, Pr yang sebelumnya menjabat pastor Paroki Katedral Santa Maria dipercaya menjadi pastor Paroki Santo Yoseph menggantikan Pastor Bonifasius Djuana. Pastor Suprapto dan Pastor Marsudi menjadi pastor yang membantu Pastor Kristianto menangani reksa pastoral di paroki yang luas ini. Pada tahun 2008 Kongregasi Misionaris Hati Kudus (MSC) ikut berkarya di Keuskupan Agung Palembang. Salah satu imam dari kongregasi ini yaitu Pastor Tarsisius Leisubun, MSC ditempatkan di Paroki Santo Yoseph menjadi pastor pembantu.

SETELAH TINGGAL DI PAROKI SANTO YOSEPH

5 JANUARI 1995 – SEPTEMBER 2006

Bonifasius Djuana, Pr.

Pada 5 Januari 1995, pertama kali saya menapakkan kaki dan tinggal di Paroki Santo Yoseph Palembang. Pada waktu itu saya tinggal bersama Pastor Puryanto, SCJ, Pastor Egidius Warsito, SCJ, dan Pastor Hari Subekti, SCJ. Pada awalnya penugasan di Paroki Santo Yoseph membuat saya minder, bahkan merasa tidak sanggup untuk berkarya. Ini terjadi karena Paroki Santo Yoseph adalah paroki paling besar di Kota Palembang, dengan jumlah umat Katolik paling banyak di Kota Palembang yang terdiri dari berbagai golongan, profesi, tingkat sosial-ekonomi, suku, dan budaya.

Dalam perjalanan waktu, rekan-rekan pastor satu demi satu pindah tempat tugas ke paroki lain. Rekan pastor yang terakhir pindah adalah Pastor Puryanto, SCJ. Pada tahun 1997 Mgr. Joseph Soudant, SCJ menawarkan pada saya untuk menjadi pastor Paroki Santo Yoseph. Saya menolak karena saya merasa belum siap dan belum mampu. Saya merasa belum layak karena saya baru tahbisan imamat selama dua tahun. Apalagi pada waktu itu saya juga masih di percaya sebagai ketua UNIO Keuskupan Palembang dan sebagai ketua Komisi Kateketik, Liturgi, dan Kitab Suci.

Tetapi alasan dan keberatan saya tersebut dimentahkan oleh peryataan dan kesediaan dua orang Bapa Uskup yaitu Mgr. Joseph Soudant, SCJ dan Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ (ketika itu masih sebagai uskup coadjutor).  Kedua Bapa Uskup menyatakan kepada saya, “Boni, kamu tidak usah takut. Kami dua orang uskup siap menjadi pembantumu.” Lalu Mgr. Joseph Soudant melanjutkan, “Ini luar biasa, sebab biasanya pastor adalah pembantunya uskup. Tetapi ini seorang pastor mempunyai pembantu dua orang uskup.” Pernyataan dari kedua Bapa Uskup tersebut membuat saya tidak dapat menjawab apa pun selain, “Ya saya siap melaksanakan tugas sebagai pastor Paroki Santo Yoseph”.

Mulai saat itulah, setelah saya ditahbiskan menjadi imam pada 4 Agustus 1993, saya mulai menjalankan tugas sebagai pastor Paroki Santo Yoseph. Tidak mengherankan bagi saya kalau kemudian muncul pertanyaan, mungkin juga keraguan dari beberapa pihak, tentang kemampuan saya. Misalnya, ada yang mengatakan, “Romo Boni itu bisa bertahan berapa lama menjadi pastor Paroki Santo Yoseph? Karena pastor yang digantikan oleh saya hanya bertahan satu setengah tahun, apalagi Romo Boni.” Bahkan seorang pastor senior secara terus terang mengatakan, “Romo Boni, romo ini kan baru dua tahun ditahbiskan, koq sudah menjadi pastor paroki paling besar di Kota Palembang?” Saya hanya bisa menjawab, “Saya tidak berharap dan tidak meminta tugas ini, tetapi saya diminta dan tidak dapat menolak. Saya hanya bisa taat pada pimpinan saya yaitu Bapa Uskup, sesuai dengan janji saya pada saat saya ditahbiskan. Dan saya yakin bahwa, “Kalau Tuhan berkenan tidak ada yang mustahil.”

Pernyataan dan tanggapan yang disampaikan pada saya tersebut sungguh bermakna bagi saya. Hal itu mendorong saya untuk lebih banyak belajar dan bekerjasama dengan umat Paroki SantoYoseph, khususnya dengan Dewan Pastoral Paroki (DPP). Saat itu DPP Paroki Santo Yoseph belum lama dilantik. Saya bersyukur karena mereka mereka adalah orang-orang berpotensi, banyak pengalaman, dan banyak mengetahui tentang paroki serta keadaan umatnya.

Belajar dan bekerjasama dengan DPP dan umat sangat penting dalam melaksanakan tugas pelayanan Gereja di paroki. Program kerja yang sudah disusun diusahakan untuk dilaksanakan dan dipelajari serta dievaluasi. Waktu berjalan terus, juga pelayanan harus dijalankan dengan berpatokan pada program yang sudah disusun, dengan terus menerus mengadakan perbaikan berdasar hasil evaluasi. Selain hal tersebut beberapa DPP dan tokoh umat mengadakan pendataan, penggalian, dan pengolahan potensi-potensi yang ada di paroki.

Ternyata Paroki Santo Yoseph memiliki potensi-potensi yang sangat besar, baik dalam kualitas sumber daya manusia maupun kemampuan finansial dari umat. Sehingga pada saat akan mengadakan aktivitas tidak terlalu sulit. Acara-acara kerohanian dan liturgi, maupun bidang kemasyarakatan, bisa terlaksana dengan baik. Pada saat akan diadakan pengadaan fasilitas untuk aktivitas rohani, liturgi, dan pendampingan, umat juga selalu antusias untuk ikut serta terlibat.

Misalnya, usaha pengadaan mobil untuk paroki. Pada tahun 1997, sejumlah umat (sekitar 15 orang) mau meminjamkan uangnya untuk membeli satu unit mobil seharga Rp 110 juta. Lantas seksi usaha DPP yang mengelola mobil tersebut me-rental-kannya untuk mengangsur pembayaran pinjaman mobil tersebut. Dalam jangka waktu dua tahun, mobil itu sudah menjadi milik paroki dan dapat digunakan untuk pelayanan.

Untuk menambah pendapatan di luar sumbangan dari umat, paroki membuka toko yang menjual benda-benda dan buku-buku rohani. Di samping itu, keberadaan toko  rohani  juga untuk mendorong kerasulan membaca buku rohani di tengah-tengah umat. Hasilnya cukup  lumayan untuk menambah pendapatan bagi seksi dana dan usaha dari DPP yang dipercaya untuk mengelolanya.

Pada waktu dinyatakan bahwa paroki membutuhkan beberapa ruang untuk macam-macam kegiatan dan kamar tamu pastoran, umat dan DPP sangat mendukung. Setelah mendapat restu dari Bapa Uskup, umat dan DPP langsung bergerak melaksanakan  sesuai dengan bidangnya masing-masing. Maka dalam jangka waktu sekitar dua tahun sudah diselesaikan gedung pastoran.

Untuk membangun rasa solidaritas dibidang sosial-ekonomi dan kesehatan, paroki menghidupkan kembali Koperasi Karya Kasih yang sudah lama tidak aktif dan membuat poliklinik paroki. Sampai sekarang koperasi masih berjalan dan semakin berkembang  karena mendapatkan dukungan dari umat dan DPP.

Dari pengalaman saya menjalankan tugas sebagai pastor Paroki Santo Yoseph, saya mengalami bahwa Paroki Santo Yoseph adalah paroki yang sudah mandiri. Dengan keadaan tersebut, maka pada tahun 2001, dengan meninggalnya Pastor Abdiputraraharja, SCJ, saya juga dipercaya untuk memimpin Yayasan Sosial Pansos (Pansos) Bodronoyo, sebagai Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Palembang. Ketika Bapa Uskup menyampaikan tugas ini, saya menyatakan siap menjalankannya. Tetapi syaratnya tugas saya di Komisi Kateketik dan Liturgi diserahkan kepada orang lain. Teryata sampai saya pindah tugas atau tempat tinggal ke paroki lain pada tahun 2006, dua lembaga (Pansos dan Paroki Santo Yoseph) dapat berjalan baik. Saya melihat bahwa umat Paroki Santo Yoseph bukanlah tipe umat yang pastor sentries. Meskipun tugas pelayanan sakramental yang berkaitan dengan jabatan imamat harus dilakukan oleh imam. Karena tugas tersebut tak dapat dilakukan oleh orang yang tak tertahbis.

Berkaitan dengan pelayanan sakramental yang sangat mengesan dan sulit dilupakan adalah, “Banyak atau sebagian besar umat Paroki Santo Yoseph yang sakit menolak menerima Sakramen Minyak Suci dari saya, alasanya takut meninggal dunia. Dengan kepindahan saya ke paroki lain mudah-mudahan sebagian umat yang sakit dapat menikmati sakitnya tanpa rasa cemas menerima Sakramen Minyak Suci dari saya.

Suatu hal yang belum terlaksana dengan baik sampai kepindahan saya adalah pembinaan atau pendampingan OMK (Orang Muda Katoli atau Mudika) walaupun pada waktu itu sudah diusahakan dengan maksimal. Jumlah mudika cukup banyak, tetapi yang aktif atau hadir dalam acara-acara sangat sedikit. Kalau saja aktivitas Mudika dapat berjalan dengan baik, tidak akan terjadi kesenjangan antara kaum muda dan tua dalam proses regenerasi. Perlu disadari bahwa kaum muda (OMK) adalah generasi penerus, dan para senior pasti akan berakhir pada waktunya. Entah bagaimana caranya pendampingan kepada OMK di Paroki Santo Yoseph harus dilakukan. Sebenarnya sudah ada kelompok OMK yang proses regenerasinya sudah berjalan dengan baik dan rapi. Sebelum saya masuk Paroki Santo Yoseph dan setelah saya pindah, bahkan sampai sekarang, masih berjalan dengan baik yaitu Putra-putri Altar (Misdinar). Bahkan hubungan emosional antara anggota Putra-putri Altar yang  sudah pindah, bekerja, bahkan sudah menikah dengan yang masih ada pada kelompok ini terjadi proses regernerasi dengan baik. Semoga kelompok ini bisa menjadi sumber inspiransi, apalagi dengan diresmikannya gedung gereja yang baru dan megah ini dapat memacu seluruh elemen di Paroki Santo Yoseph untuk lebih aktif di dalam berbagai kegiatan di paroki dalam rangka menghadirkan kerajaan Allah di muka bumi ini.

Selamat atas peresmian dan pemberkatan gereja baru, Tuhan memberkati.