Para Perintis
Adalah Pastor Petrus Cornelius Maria Middeldorp, SCJ, kelahiran Heerlem pada 17 November 1920. Dia anak dari pasutri Petrus Henricus Maria Middeldorp dan Cornelia Dieben. Setelah menyelesaikan seminari menengah, Middeldorp memutuskan bergabung dengan Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ). Dia masuk postulat SCJ di Asten pada tahun 1941 dan kemudian melanjutkan tahun novisiatnya di Asten hingga tahun 1942. Frater Middeldorp meneruskan studi Filsafat di Liesboch dan studi Teologia di Sittard dan Nijmegen.
Frater Middeldorp menerima tahbisan diakon bersama-sama 20 frater SCJ pada 28 Mei 1947 di kapel Santa Maria Seminari Tinggi SCJ di Nijmegen. Frater Middeldorp dan para frater diakon lainnya ditahbiskan oleh Mgr. Nicolas Verhoeven, MSC, yang baru saja diangkat menjadi Vikaris Apostolik Menado. Pada 20 Juli 1947 Frater Middeldorp ditahbiskan menjadi imam SCJ bersama-sama 18 frater SCJ di tempat yang sama ketika dia dan konfraternya menerima tahbisan diakon. Frater Middeldorp dan para frater diakon ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. William Petrus Bartholemeus Cobben, SCJ, Vikaris Apostolik Finlandia. Setelah ditahbiskan menjadi imam, Pastor Middeldorp memperoleh penugasan sementara di Seminari Tinggi SCJ di Nijmegen sambil menunggu tempat tugasnya yang tetap. Pada September 1948, Pastor Middeldorp menerima pemberitahuan dari Prokurator Misi SCJ bahwa dia dan Pastor Antonius Oonk akan menjadi misionaris di Sumatera Selatan.
Pada 24 Juni 1949, Pastor Middeldorp meninggalkan Nijmegen, berangkat ke Sumatera bersama Pastor Oonk dan Bruder Caspar Kloos. Terlebih dulu mereka berangkat ke Amsterdam mempersiapkan diri dan baru kemudian berlayar ke Sumatera. Pastor Middeldorp dan rombongannya tiba di Palembang pada 5 Agustus 1949.
Pastor Middeldorp memulai karya misioner di Palembang dengan menjadi guru di Seminari Menengah Santo Paulus Palembang. Pada waktu itu bangunan seminari menengah masih menggunakan sebagian pastoran Hati Kudus. Karena seminari dipindahkan ke Lahat, dia pun ikut pindah ke Lahat.
Gambar Pastor Middeldorp dan Herman Lagaunne duduk di atas motor scooter, bersama beberapa umat Katolik Paroki Santo Yoseph. Motor ini yang menghantarnya mengunjungi rumah-rumah umat.
Pastor Middeldorp sempat pindah ke Paroki Bengkulu. Dia hanya berkarya sebentar di paroki itu dan kembali ke Palembang menjadi pastor pembantu di Paroki Katedral Santa Maria hingga tahun 1956. Pastor Middeldorp kembali ditugaskan menjadi staf di Seminari Menengah Santo Paulus dan tugas pastoral yang lain yaitu melayani umat Katolik di Sungai Gerong. Karier pastoral Pastor Middledorp dilanjutkan ke Paroki Lahat. Di paroki ini dia bertugas dari Juli 1957 hingga Maret 1965.
Pada Maret 1965 Pastor Middledorp kembali ke Palembang, menjadi pastor pembantu di Paroki Hati Kudus. Pada waktu itu dia rutin melayani umat Katolik yang menggunakan aula Sekolah Santo Pius untuk menyelenggarakan Misa Kudus setiap Minggu-nya. Dia memang ditugaskan mempersiapkan berdirinya paroki kelima di Palembang yaitu Paroki Santo Yoseph. Sesudah Paroki Santo Yoseph resmi berdiri, Pastor Middeldorp diangkat sebagai pastor paroki pertama. Dia perintis sekaligus peletak bagi kokoh berdirinya Paroki Santo Yoseph. Hal itu bisa dilihat dari karya-karya pastoral yang dikerjakannya dari tahun 1967.
Pastor Middeldorp dikenal sebagai pribadi yang mengagumi dan mencintai Bunda Maria. Devosinya kepada Bunda Maria amat kuat. Sebagai pastor Paroki Santo Yoseph, bila membaptis seseorang, dia selalu menambahkan nama Maria di depan atau dibelakang nama permandian orang yang dibaptis.
Satu hal yang tak bisa dilupakan dalam reksa pastoral dari Pastor Middeldorp adalah ketekunan dan kerajinannya dalam mengunjungi umat Paroki Santo Yoseph. Setiap ada kesempatan Pastor Middeldorp selalu berusaha mengunjungi umatnya ditemani Herman Lagaunne. Dengan scooter besar merk Heinkel buatan Jerman yang panjangnya sekitar 2 meter, dia begitu setia melayani umat Katolik di parokinya. Pada saat itu belum ada sepeda motor dengan starter otomatis dan di Palembang, scooter semacam ini hanya ada satu. Ban serep sekaligus dengan velg-nya selalu terpasang di bagian belakang scooter. Supaya lebih praktis kunjungan umat dibagi per daerah.
Gambar Pastor Middeldorp bersama-sama mudika Paroki Santo Yoseph.
Biasanya mulai jam 16.30, Pastor Middeldorp sudah siap di depan rumah Herman Lagaunne untuk bersama-sama berkeliling mengunjungi umat. Kunjungan ke rumah-rumah umat ini biasanya berlangsung sampai jam 20.30. Kecuali kalau Jumat pertama, kunjungan baru bisa dilaksanakan setelah misa sore selesai yaitu jam 18.00. Pada waktu itu misa Jum’at pertama dimulai jam 17.00 dan hanya berlangsung selama 45 menit. Kunjungan pada hari Minggu dilakukan Pastor Middeldorp sendiri, tanpa ditemani Herman Lagaunne. Sebab pada hari Minggu adalah waktu bebas bagi Herman Laguanne karena dia pada hari Minggu ada acara-acara lain atau kunjungan khusus oleh Pastor Middeldorp sendiri.
Pastor Middeldorp tidak memilih-milih umat yang akan dikunjungi. Tetapi memang ada prioritas dalam kunjungannya. Prioritas yang pertama adalah mengunjungi umat yang sudah lama tidak kelihatan hadir di gereja mengikuti misa Mingguan atau Natal dan Paskah. Juga umat yang sakit terutama yang sakitnya hampir tak tersembuhkan, termasuk orang-orang yang sakit tua.
Pernah dalam suatu kunjungan ke Lingkungan Romo Sandjaja, Pastor Middeldorp mengatakan, “Wah ini kringnya orang Jawa” karena memang di linkungan ini mayoritas warganya adalah orang-orang Katolik dari Jawa. Wajar saja dalam pertemuan lingkungan kebanyakan warganya menggunakan bahasa Jawa untuk saling berkomunikasi. Kalau Pastor Middledorp mengatakan itu tentu bukan dengan maksud menyindir. Melainkan sebuah ungkapan dan pandangannya terhadap lingkungan itu.
Gambar Pastor Middeldorp bersama anak-anak di depan gereja Santo Yoseph.
Dalam setiap kunjungannya Pastor Middeldorp tidak masalah dengan minuman dan makanan kecil yang dihidangkan oleh tuan rumah yang dikunjungi. Dia biasa minum kopi atau teh dan makanan apa saja. Namun sekitar tahun 1970-an, Pastor Middeldorp mulai mengurangi minuman yang mengandung gula sehingga dalam setiap kunjungannya hanya disediakan air putih atau teh pahit tanpa gula. Dia juga paling anti dengan kue agar-agar yang disebutnya dengan kue geger karena kalau dimakan bisa geger (goyang-goyang), demikian menurut istilahnya.
Setiap hari Pastor Middeldorp dan Herman Laguanne bisa mengunjungi 5 sampai 8 rumah. Agar lebih banyak umat yang dikunjungi, Pastor Middeldorp membatasi waktu kunjungannya hanya selama 10 menit saja untuk setiap rumah. Karena waktunya yang cukup singkat itu, kadang-kadang tuan rumah masih sibuk menyiapkan minuman, waktu kunjungan sudah habis dan harus pamit untuk meneruskan kunjungan ke rumah lain. Pernah suatu hari Pastor Middeldorp dan Herman Laguanne memecahkan rekor mengunjungi umat di lingkungan Santa Agnes di daerah Lrg. Pertanian berhasil mengunjungi 19 rumah.
Gambar Pastor Middeldorp bersama-sama Mudika Paroki Santo Yoseph.
Dalam suatu kunjungan daerah Sekip Ujung karena dari satu rumah umat ke rumah umat yang lain cukup jauh jaraknya, scooter diparkir di salah satu pekarangan rumah, Pastor Middeldorp dan Herman Laguanne hanya berjalan kaki. Begitu mereka berjalan kaki, anak-anak kecil sekitar 20 anak berjalan di belakang mereka. Anak-anak itu mengikuti sambil berteriak-teriak, “Ado wong Belando, ado wong jangkung”. Postur tubuh Pastor Middeldorp yang tinggi besar menarik perhatian anak-anak di daerah itu. Lebih-lebih Pastor Middeldorp orang asing, berkulit putih, dan mengenakan jubah putih. Karena anak-anak berbaris mengikuti Pastor Middeldorp dan Herman Laguanne, Pastor Middeldorp hanya berkata, “Herman, sekarang kita lagi pawai”. Di daerah itu juga, mereka mengunjungi sebuah rumah yang kecil. Pintu rumah yang rendah membuat Pastor Middeldorp harus menunduk untuk masuk ke dalam rumah. Ruang tamunya persis berada di pinggir gang sehingga banyak anak berdiri di depan pintu bahkan ada yang berani masuk agak ke dalam. Anak-anak itu saling berbicara satu dengan yang lain sambil terheran-heran. Mereka berkata, “Hidungnya mancung nian.” Mendengar hal itu, Pastor Middeldorp balik bertanya kepada anak-anak itu dengan nada bercanda. “Kamu tahu tidak mengapa hidungmu tidak mancung?” Anak-anak diam saja. Pastor Middeldorp kemudian menjawabnya sendiri. “Kamu waktu masih bayi sering digendong di punggung ibumu, hidungmu terantuk-antuk terus di punggung ibumu sehingga hidungmu menjadi pesek.”
Pernah terjadi motor yang digunakan Pastor Middeldorp dan Herman Lagaunne bannya bocor. Namun Pastor Middeldorp dapat mudah mengatasinya dengan cara memiringkan motor, melepas velg-nya dan ban yang bocor, kemudian menggantinya dengan ban serep yang selalu terpasang pada motor. Bahkan pernah terjadi dalam sebuah kunjungan di daerah Pakjo, sore hari sekitar jam 18.00 sudah menjelang malam dan Pastor Middeldorp belum menyalakan lampu motor, jalan-jalan yang dilewati banyak tikungannya. Tiba-tiba muncul sebuah mobil di ujung tikungan, Pastor Middeldorp kaget dan menginjak rem dengan mendadak. Pastor Middeldorp tidak bisa mengendalikan motornya dan jatuh terbalik. Pastor Middeldorp terjatuh dari motor dan Herman Lagaunne pun jatuh di atas badan Pastor Middeldorp. Scooter agar rusak, Pastor Middeldorp luka-luka dan berdarah. Herman Lagaunne sendiri tidak luka sedikit pun. Dua hari setelah kejadian itu, Pastor Middeldorp sakit, gatal-gatal pada kakinya, dan menderita demam karena infeksi. Pastor Middeldorp pun diopname di RS Charitas selama lima hari. Setelah Herman Lagaunne tidak dapat menemani Pastor Middeldorp dalam setiap kunjungan ke rumah-rumah umat, tugas itu dilanjutkan oleh Swan Liong dan Gan Liang An.
Selama menjadi pastor Paroki Santo Yoseph, Pastor Middeldorp punya perhatian terhadap pendidikan bagi anak-anak. Dia ikut mendorong dan membantu para ibu Katolik di Paroki Santo Yoseph membuka sebuah Taman Kanak-kanak (TK). Pastor Middeldorp mempersilahkan para ibu menggunakan aula pastoran sebagai ruang kelas bagi TK itu. Inilah cikal bakal Sekolah Indriasana yang dikelola ibu-ibu Wanita Katolik (WK). Pastor Middeldorp juga pernah menjadi guru Agama Katolik di SD Santo Louis, SMP Xaverius, Sekolah Kepandaian Putri (SKP) Xaverius, Sekolah Guru Atas (SGA) Xaverius, dan SMA Xaverius putri dari tahun 1967 hingga tahun 1970-an.
Pastor Middeldorp meninggalkan seluruh karya pastoralnya dan pulang ke Belanda untuk pensiun pada Juli 1993. Dia tinggal di biara SCJ di Asten, Belanda. Meski sudah pensiun, dia tetap aktif memantau perkembangan Paroki Santo Yoseph dari Belanda sana. Pastor Middeldorp meninggal dunia pada 22 April 1999 dan dimakamkan di Asten.