Sekilas Sejarah Terbentuknya Kitab Suci
Sebuah lembaga atau badan membutuhkan “media” untuk menyampaikan sisi misinya, sebuah perusahaan membutuhkan “advertising” untuk mempromosikan produknya. Cara Allah menyatakan ( memperkenalkan ) Diri-Nya kepada manusia adalah dengan memberikan Penyataan Umum dan Penyataan Khusus, yaitu melalui alam, sejarah, hati nurani manusia dan juga melalui Firman dan Putera-Nya, Yesus Kristus, Sabda yang menjelma menjadi manusia (bdk. Yoh 1:14). Di dalam Penyataan-penyataan atau “pengenalan” Diri Allah berpuncak pada diri Yesus kristus, dengan kata lain Allah memperkenalkan diri-Nya secara langsung, yaitu Sabda yang menjadi manusia. Sepanjang kitab Kejadian sampai dengan kitab Wahyu, yaitu yang di sebut Alkitab, teristimewa Injil Allah menyatakan Diri-Nya dan rencana-Nya kepada manusia. (lih. Rom 1:19-20; Yes. 52:10)
KITAB-KITAB PERJANJIAN LAMA
Alkitab Gereja Katolik terdiri dari 73 kitab, yaitu Perjanjian Lama terdiri dari 46 kitab sedangkan Perjanjian Baru terdiri dari 27 kitab. Bagaimanakah sejarahnya sehingga Alkitab terdiri dari 73 kitab, tidak lebih dan tidak kurang? Pertama, kita akan mengupas kitab-kitab Perjanjian Lama yang dibagi dalam tiga bagian utama: Hukum-hukum Taurat, Kitab nabi-nabi dan Naskah-naskah. Lima buku pertama: Kitab Kejadian, Kitab Keluaran, Kitab Imamat dan Kitab Bilangan dan Kitab Ulangan adalah intisari dan cikal-bakal seluruh kitab-kitab Perjanjian Lama. Pada suatu ketika dalam sejarah, ini adalah Kitab Suci yang dikenal oleh orang-orang Yahudi dan disebut Kitab Taurat atau Pentateuch.
Selama lebih dari 2000 tahun, nabi Musa dianggap sebagai penulis dari Kitab Taurat, oleh karena itu kitab ini sering disebut Kitab Nabi Musa dan sepanjang Alkitab ada referensi kepada “Hukum Nabi Musa”. Tidak ada seorangpun yang dapat memastikan siapa yang menulis Kitab Taurat, tetapi tidak disangkal bahwa nabi Musa memegang peran yang unik dan penting dalam berbagai peristiwa-peristiwa yang terekam dalam kitab-kitab ini. Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa Alkitab adalah hasil inspirasi Ilahi dan karenanya identitas para manusia pengarangnya tidaklah penting.
Nabi Musa menaruh satu set kitab di dalam Tabut Perjanjian (The Ark of The Covenant) kira-kira 3300 tahun yang lalu. Lama kemudian Kitab Para Nabi dan Naskah-naskah ditambahkan kepada Kitab Taurat dan membentuk Kitab-kitab Perjanjian Lama. Kapan tepatnya isi dari Kitab-kitab Perjanjian Lama ditentukan dan dianggap sudah lengkap, tidaklah diketahui secara pasti. Yang jelas, setidaknya sejak lebih dari 100 tahun sebelum kelahiran Kristus, Kitab-kitab Perjanjian Lama sudah ada seperti umat Katolik mengenalnya sekarang.
Kitab-kitab Perjanjian Lama pada awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani (Hebrew) bagi Israel, umat pilihan Allah. Tetapi setelah orang-orang Yahudi terusir dari tanah Palestina dan akhirnya menetap di berbagai tempat, mereka kehilangan bahasa aslinya dan mulai berbicara dalam bahasa Yunani (Greek) yang pada waktu itu merupakan bahasa internasional. Oleh karena itu menjadi penting kiranya untuk menyediakan bagi mereka, terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Pada waktu itu di Alexandria berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa Yunani. Selama pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 – 246 SM) proyek penterjemahan dari seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa Yunani dimulai oleh 70 atau 72 ahli-kitab Yahudi – menurut tradisi – 6 orang dipilih mewakili setiap dari 12 suku bangsa Israel. Terjemahan ini diselesaikan sekitar tahun 250 – 125 SM dan disebut Septuaginta, yaitu dari kata Latin yang berarti 70 (LXX), sesuai dengan jumlah penterjemah. Kitab ini sangat populer dan diakui sebagai Kitab Suci resmi (kanon Alexandria) kaum Yahudi diaspora (=terbuang), yang tinggal di wilayah Asia Kecil dan Mesir. Pada waktu itu Ibrani adalah bahasa yang nyaris mati dan orang-orang Yahudi di Palestina umumnya berbicara dalam bahasa Aram. Jadi tidak mengherankan kalau Septuagint adalah terjemahan yang digunakan oleh Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama yang ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint. Harap diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani.
Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi punah tetapi malahan menjadi semakin kuat. Pada sekitar tahun 100 Masehi, para rabbi (imam Yahudi) berkumpul di Jamnia, Palestina, mungkin sebagai reaksi terhadap umat Kristen. Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria untuk menentukan kanon (=standard) Kitab Suci mereka: [1] Ditulis dalam bahasa Ibrani; [2] Sesuai dengan Kitab Taurat; [3] lebih tua dari jaman Ezra (sekitar 400 SM); [4] dan ditulis di Palestina. Atas kriteria-kriteria diatas mereka mengeluarkan kanon baru untuk menolak tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang tercantum dalam Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 Makabe, 2 Makabe, berikut tambahan-tambahan dari kitab Ester dan Daniel. (Catatan: Surat Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6 dari kitab Barukh). Hal ini dilakukan atas alasan bahwa mereka tidak dapat menemukan versi Ibrani dari kitab-kitab yang ditolak diatas.
Gereja Kristen tidak menerima hasil keputusan rabbi-rabbi Yahudi ini dan tetap terus menggunakan Septuagint. Pada konsili di Hippo tahun 393 Masehi dan konsili Kartago tahun 397 Masehi, Gereja secara resmi menetapkan 46 kitab hasil dari kanon Alexandria sebagai kanon bagi Kitab-kitab Perjanjian Lama. Selama enam belas abad, kanon Alexandria diterima secara bulat oleh Gereja. Masing-masing dari tujuh kitab yang ditolak oleh konsili Jamnia, dikutip oleh para Bapa Gereja perdana (Church Fathers) sebagai kitab-kitab yang setara dengan kitab-kitab lainnya dalam Perjanjian Lama. Bapa-bapa Gereja, beberapa diantaranya disebutkan disini: St. Polycarpus, St. Irenaeus, Paus St. Clement, dan St. Cyprianus adalah para pemimpin spiritual umat Kristen yang hidup pada abad-abad pertama dan tulisan-tulisan mereka – meskipun tidak dimasukkan dalam Perjanjian Baru – menjadi bagian dari Deposit Iman. Tujuh kitab berikut dua tambahan kitab yang ditolak tersebut dikenal oleh Gereja Katolik sebagai Deuterokanonika (second-listed), atau kanon kedua. Disebut demikian karena disertakan dalam kanon Kitab Suci setelah melalui banyak perdebatan.
GEREJA KATOLIK MENDAHULUI KITAB PERJANJIAN BARU
Seperti Kitab-kitab Perjanjian Lama, Kitab-kitab Perjanjian Baru juga tidak ditulis oleh satu orang, tetapi adalah hasil karya setidaknya delapan orang. Kitab Perjanjian Baru terdiri dari 4 kitab Injil, 14 surat Rasul Paulus, 2 surat Rasul Petrus, 1 surat Rasul Yakobus, 1 surat Rasul Yudas, 3 surat Rasul Yohanes dan Wahyu Rasul Yohanes dan Kisah Para Rasul yang ditulis oleh Santo Lukas, yang juga menulis Kitab Injil yang ketiga. Sejak kitab Injil yang pertama yaitu Injil Matius sampai kitab Wahyu Yohanes, ada kira-kira memakan waktu 50 tahun. Tuhan Yesus sendiri, sejauh yang kita ketahui, tidak pernah menuliskan satu barispun dari kitab Perjanjian Baru. Dia tidak pernah memerintahkan para Rasul untuk menuliskan apapun yang diajarkan oleh-Nya. Melainkan Dia berkata: “Maka pergilah dan ajarlah segala bangsa,” (Matius 28:19-20), dan “barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku.” (Lukas 10:16)
Apa yang Yesus perintahkan kepada mereka persis sama seperti apa yang Yesus sendiri lakukan: menyampaikan Firman Allah kepada orang-orang melalui kata-kata, meyakinkan, mengajar, dan menpertobatkan mereka dengan bertemu muka. Jadi bukan melalui sebuah buku yang mungkin bisa rusak dan hilang, dan disalah tafsirkan dan diubah-ubah isinya, melainkan melalui cara yang lebih aman dan alami dalam menyampaikan firman yaitu dari mulut ke mulut. Demikianlah para Rasul mengajar generasi seterusnya untuk melakukan hal yang serupa setelah mereka meninggal. Oleh karena itu melalui Tradisi seperti inilah Firman Allah disampaikan kepada generasi-generasi umat Kristen sebagaimana pertama kali diterima oleh para Rasul.
Tidak satu barispun dari kitab-kitab Perjanjian Baru dituliskan sampai setidaknya 10 tahun setelah wafatnya Kristus. Yesus disalibkan pada circa tahun 33 dan kitab Perjanjian Baru yang pertama ditulis yaitu surat 1 Tesalonika baru ditulis sekitar tahun 50 Masehi. Sedangkan kitab terakhir yang ditulis yaitu kitab Wahyu Yohanes pada sekitar 90-100 Masehi. Jadi anda bisa melihat kesimpulan penting disini: Gereja dan iman Katolik sudah ada sebelum Alkitab dijadikan. Beribu-ribu orang bertobat menjadi Kristen melalui khotbah para Rasul dan missionaris di berbagai wilayah, dan mereka percaya kepada kebenaran Ilahi seperti kita percaya sekarang, dan bahkan menjadi orang-orang kudus tanpa pernah melihat ataupun membaca satu kalimatpun dari kitab Perjanjian Baru. Ini karena alasan yang sederhana yaitu bahwa pada waktu itu Alkitab seperti yang kita kenal, belum ada. Jadi, bagaimanakah mereka menjadi Kristen tanpa pernah melihat Alkitab? Yaitu dengan cara yang sama orang non-Kristen menjadi Kristen pada masa kini, yaitu dengan mendengar Firman Allah dari mulut para misionaris.
GEREJA KATOLIK MENETAPKAN KITAB PERJANJIAN BARU
Ke-dua puluh tujuh kitab diterima sebagai Kitab Suci Perjanjian Baru baik oleh umat Kristen Katolik maupun Kristen lain. Pertanyaannya adalah: Siapa yang memutuskan kanonisasi Perjanjian Baru sebagai kitab-kitab yang berasal dari inspirasi Allah? Kita tahu bahwa Alkitab tidak jatuh dari langit, jadi darimana kita tahu bahwa kita bisa percaya kepada setiap kita-kitab tersebut?
Berbagai uskup membuat daftar kitab-kitab yang diakui sebagai inspirasi Ilahi, diantaranya: [1] Mileto, uskup Sardis pada tahun 175 Masehi; [2] Santo Irenaeus, uskup Lyons – Perancis pada tahun 185 Masehi; [3] Eusebius, uskup Caesarea pada tahun 325 Masehi.
Pada tahun 382 Masehi, didahului oleh Konsili Roma, Paus Damasus menulis dekrit yang menulis daftar kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang terdiri dari 73 kitab.
Konsili Hippo di Afrika Utara pada tahun 393 menetapkan ke 73 kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Konsili Kartago di Afrika Utara pada tahun 397 menetapkan kanon yang sama untuk Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Catatan: Ini adalah konsili yang dianggap oleh banyak pihak non-Katolik sebagai yang menentukan bagi kanonisasi kitab-kitab dalam Perjanjian Baru.
Paus Santo Innocentius I (401-417) pada tahun 405 Masehi menyetujui kanonisasi ke 73 kitab-kitab dalam Alkitab dan menutup kanonisasi Alkitab.
Jadi kanonisasi Alkitab telah ditetapkan di abad ke empat oleh konsili-konsili Gereja Katolik dan para Paus pada masa itu. Sebelum kanon Alkitab ditetapkan, ada banyak perdebatan. Ada yang beranggapan bahwa beberapa kitab Perjanjian Baru seperti surat Ibrani, surat Yudas, kitab Wahyu, dan surat 2 Petrus, adalah bukan hasil inspirasi Allah. Sementara pihak lain berpendapat bahwa beberapa kitab yang tidak dikanonisasi seperti: Gembala Hermas, Injil Petrus dan Thomas, surat-surat Barnabas dan Clement adalah hasil inspirasi Allah. Keputusan resmi wewenang Gereja Katolik menyelesaikan hal diatas sampai sekitar 1100 tahun kemudian. Hingga jaman Reformasi Protestan, praktis tidak ada lagi perdebatan akan kitab-kitab dalam Alkitab.
Melihat sejarah, Gereja Katolik menggunakan wibawa dan kuasanya untuk menentukan kitab-kitab yang mana yang termasuk dalam Alkitab dan memastikan bahwa segala yang tertulis dalam Alkitab adalah hasil inspirasi Allah. Jika bukan karena Gereja Katolik, maka umat Kristen tidak akan dapat mengetahui yang mana yang benar.
KITAB VULGATA – KARYA SANTO YEREMIA
Ketika Kabar Gembira telah tersebar luas dan banyak orang menjadi Kristen, merekapun dibekali dengan terjemahan Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa asli mereka yaitu Armenia, Siria, Koptik, Arab dan Ethiopia bagi umat Kristen perdana di wilayah-wilayah ini. Bagi umat Kristen di Afrika dimana bahasa Latin paling luas digunakan, ada terjemahan kedalam bahasa Latin yang dibuat sekitar tahun 150 Masehi dan juga terjemahan berikutnya bagi umat di Italia. Akan tetapi semua ini akhirnya digantikan oleh karya besar yang dibuat oleh Santo Yeremia dalam bahasa Latin yang disebut “Vulgata” pada abad ke-empat. Pada masa itu ada kebutuhan besar akan Kitab Suci dan ada bahaya karena variasi terjemahan yang ada. Oleh karena itu sang biarawan, yang mungkin pada waktu itu adalah orang yang paling terpelajar, atas perintah Paus Santo Damascus pada tahun 382, membuat terjemahan Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Latin dan mengoreksi versi-versi yang ada dalam bahasa Yunani. Lantas di Bethlehem antara tahun 392-404, dia juga menterjemahkan Kitab-kitab Perjanjian Lama langsung dari bahasa Ibrani (jadi bukan dari Septuagint) kedalam bahasa Latin, kecuali kitab Mazmur yang direvisi dari versi Latin yang sudah ada. Ini adalah Alkitab lengkap yang diakui resmi oleh wewenang Gereja Katolik, yang nilainya tak terukur menurut para ahli alkitab masa kini, dan terus mempengaruhi versi-versi lainnya sampai pada jaman Reformasi Protestan. Dari Vulgata inilah dihasilkan terjemahan dalam bahasa Inggris yang terkenal yaitu Douai-Rheims Bible.
HILANGNYA KITAB-KITAB ASLI
Hingga ditemukannya mesin cetak pada tahun 1450, semua Alkitab adalah hasil salinan tangan yang kita sebut manuskrip. Alkitab lengkap tertua yang masih ada hingga sekarang berasal dari abad ke-empat, dan isinya sama dengan Alkitab yang dipegang oleh umat Katolik yaitu terdiri dari 73 kitab. Apa yang terjadi dengan manuskrip-manuskrip asli yang ditulis oleh para penulis kitab Injil? Ada beberapa alasan akan hilangnya kitab-kitab asli tersebut:
Beberapa ratus tahun pertama adalah masa-masa penganiayaan terhadap umat Kristen. Para penguasa yang menindas Gereja Katolik menghancurkan segala hal yang menyangkut Kristenitas yang bisa mereka temukan. Selanjutnya, kaum pagan (non-Kristen) juga secara berulang-ulang menyerang kota-kota dan perkampungan Kristen dan membakar dan menghancurkan gereja dan segala benda-benda religius yang dapat mereka temukan disana. Lebih jauh lagi, mereka bahkan memaksa umat Kristen untuk menyerahkan kitab-kitab suci dibawah ancaman nyawa, lantas membakar kitab-kitab tersebut.
Alasan lainnya: media yang dipakai untuk menuliskan ayat-ayat Alkitab, disebut papirus – sangat mudah hancur dan tidak tahan lama, sedangkan perkamen, yang terbuat dari kulit binatang dan lebih tahan lama, sulit didapat. Kedua materi inilah yang disebutkan dalam 2 Yohanes 1:12 dan 2 Timotius 4:13. Umat Kristen perdana, setelah membuat salinan Alkitab, juga tampak tidak terlalu peduli untuk menjaga kitab aslinya. Mereka tidak beranggapan penting untuk memelihara tulisan-tulisan asli oleh Santo Paulus atau Santo Matius oleh karena mereka percaya penuh kepada kuasa mengajar Gereja Katolik yang mengajarkan iman Kristen melalui para Paus dan para uskup-uskupnya. Umat Katolik tidak melandaskan ajaran-ajarannya pada Alkitab semata-mata, tetapi juga kepada Tradisi Hidup, dari Gereja Katolik yang infallible. ubi Ecclesia, ibi Christus.
ALKITAB PADA ABAD PERTENGAHAN
Segenap umat Kristen berhutang budi kepada para kaum religius, imam, biarawan dan biarawati yang menyalin, memperbanyak, memelihara dan menyebar-luaskan Alkitab selama berabad-abad. Para biarawan adalah kaum yang paling terpelajar pada jamannya dan salah satu kegiatan utama mereka adalah menyalin isi Alkitab sedangkan biara-biara menjadi pusat penyimpanan naskah-naskah Alkitab ini. Umumnya masing-masing biara-biara di abad pertengahan memiliki perpustakaan tersendiri. Tidak kurang dari para raja dan kaum bangsawan dan orang-orang terkenal meminjam dari biara-biara ini. Para raja dan kaum bangsawan itu sendiri, bersama para Paus, uskup dan kepala-kepala biara, sering menghadiahkan Kitab Suci yang diberi hiasan yang indah kepada biara-biara dan gereja-gereja di seluruh Eropa.
Untuk menyalin satu Alkitab lengkap, diperlukan sekurangnya 10 bulan tenaga kerja dan sejumlah besar perkamen yang mahal harganya untuk memuat lebih dari 35000 ayat-ayat dalam Alkitab. Hal ini menjelaskan mengapa orang banyak tidak mampu memiliki setidaknya satu set Alkitab lengkap di rumah-rumah mereka. Mereka biasanya hanya memiliki salinan dari sejumlah pasal dalam Alkitab yang populer. Jadi kebiasaan memiliki bagian tertentu dari Alkitab secara terpisah adalah kebiasaan yang sepenuhnya Katolik dan yang hingga kini masih dilakukan.
Alkitab pada abad pertengahan umumnya ditulis dalam bahasa Latin. Hal ini dilakukan sama sekali bukan dimaksudkan untuk menyulitkan umat yang ingin membacanya. Kebanyakan orang pada masa itu buta huruf, sedangkan mereka yang mampu membaca, juga dapat mengerti bahasa Latin. Latin adalah bahasa universal pada waktu itu. Mereka yang mampu membaca lebih menyukai membaca Vulgata, versi Latin dari Alkitab. Oleh karena kenyataan tersebut, tidak ada alasan kuat untuk menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa setempat secara besar-besaran. Namun meski demikian harap diingat bahwa sepanjang sejarah Gereja Katolik tetap menyediakan terjemahan Alkitab dalam bahasa-bahasa setempat.
MARTIN LUTHER DAN ALKITAB PROTESTAN
Pada tahun 1529, Martin Luther mengajukan kanon Palestina yang menetapkan 39 kitab dalam bahasa Ibrani sebagai kanon Perjanjian Lama. Luther mencari pembenaran dari keputusan konsili Jamnia (yang adalah konsili imam Yahudi, jadi bukan sebuah konsili Gereja Kristen!) bahwa tujuh kitab yang dikeluarkan dari Perjanjian Lama tidak memiliki kitab-kitab aslinya dalam bahasa Ibrani. Luther melakukan hal tersebut terutama karena sejumlah ayat-ayat yang terdapat pada kitab-kitab tersebut justru menguatkan doktrin-doktrin Gereja Katolik dan bertentangan dengan doktrin-doktrin baru yang dikembangkan oleh Martin Luther sendiri.
Oleh karena alasan yang serupa, Martin Luther juga nyaris membuang beberapa kitab-kitab lainnya: surat Yakobus, surat Ibrani, kitab Ester dan kitab Wahyu. Hanya karena bujukan kuat oleh para pendukung kaum reformasi Protestan yang lebih konservatif maka kitab-kitab diatas tetap dipertahankan dalam Alkitab Protestan. Namun demikian, tidak kurang Martin Luther mengecam bahwa surat Yakobus tidak pantas dimasukkan dalam Alkitab.
Untuk mendukung salah satu doktrinnya yang terkenal yaitu Sola Fide (bahwa kita dibenarkan hanya oleh iman saja), dalam Alkitab terjemahan bahasa Jerman, Martin Luther menambahkan kata ‘saja’ pada surat Roma 3:28. Sehingga ayat tersebut berbunyi: “Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman saja, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat”. Tidak heran kalau Martin Luther meremehkan surat Rasul Yakobus dan berusaha untuk membuangnya dari Perjanjian Baru, karena justru dalam surat Yakobus ada banyak ayat yang menjatuhkan doktrin Sola Fide yang diciptakan oleh Martin Luther tersebut. Antara lain, dalam Yakobus 2:14-15 tertulis: “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?” dan Yakobus 2:17 “Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” dan Yakobus 2:24 “Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.”
Pertanyaannya sekarang adalah: Kitab Perjanjian Lama manakah yang lebih baik anda baca? Kitab Perjanjian Lama yang digunakan oleh Yesus, para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru dan Gereja purba? Atau Kitab Perjanjian Lama yang ditetapkan oleh imam-imam Yahudi yang menolak Yesus Kristus dan menindas umat Kristen purba?
ALKITAB KATOLIK
Bahkan sebelum pecahnya Reformasi Protestan, ada banyak versi-versi Alkitab yang beredar pada masa itu. Banyak diantaranya mengandung kesalahan-kesalahan yang disengaja – seperti dalam kasus-kasus kaum bidaah, penyeleweng ajaran gereja yang berusaha mendukung doktrin-doktrin yang mereka ciptakan sendiri, dengan menuliskan Alkitab yang sudah diganti-ganti isinya. Ada juga kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja oleh karena faktor manusia (human error), mengingat pekerjaan menyalin Alkitab dilakukan dengan tulisan tangan, ayat demi ayat, yang sangat memakan waktu dan tenaga.
Oleh karena itu pada Konsili di Florence pada abad ke lima belas, para pemimpin Gereja menguatkan keputusan yang dibuat pada konsili-konsili sebelumnya mengenai kitab-kitab yang ada dalam Alkitab.
Setelah meletusnya Reformasi Protestan, pada Konsili Trente oleh Gereja Katolik pada tahun 1546 dikeluarkanlah dekrit yang mensahkan Vulgata, versi Latin dari Alkitab sebagai satu-satunya versi resmi yang diakui dan sah untuk umat Katolik. Alkitab ini direvisi oleh Paus Sixtus V pada tahun 1590 dan juga oleh Paus Clement VIII pada tahun 1593.
Selanjutnya pada konsili Vatikan I, kembali Gereja Katolik menegaskan keputusan konsili-konsili sebelumnya tentang Alkitab. Oleh karena itu di akhir tulisan ini, kita dapat membuat beberapa kesimpulan:
Berdasarkan sejarah, Alkitab adalah sebuah kitab Katolik. Perjanjian Baru ditulis, disalin dan dikoleksi oleh umat Kristen Katolik. Kanon resmi dari kitab-kitab yang membentuk Alkitab – Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru – ditentukan secara berwibawa oleh wewenang Gereja Katolik pada abad ke empat.
Menuruti akal sehat dan logika, Gereja Katolik yang memiliki kuasa untuk menentukan Firman Allah yang infallible – bebas dari kesalahan -, pasti juga memiliki otoritas yang infallible – bebas dari kesalahan – dan juga bimbingan dari Roh Kudus. Seperti telah anda lihat, terlepas dari deklarasi oleh Gereja Katolik, kita sama sekali tidak memiliki jaminan bahwa apa yang tertulis dalam Alkitab adalah Firman Allah yang asli. Jika anda percaya kepada isi Alkitab maka anda juga harus percaya kepada wibawa Gereja Katolik yang menjamin keaslian Alkitab. Adalah suatu kontradiksi bagi seseorang untuk menerima kebenaran Alkitab tetapi menolak wibawa Gereja Katolik. Logikanya, mereka mestinya tidak mengutip isi Alkitab sama sekali, karena mereka tidak memiliki pegangan untuk menentukan kitab-kitab mana saja yang asli, kecuali tentunya kalau mereka menerima wibawa mengajar Gereja Katolik.
Kitab-kitab
Deuterokanonika
Pada zaman Yesus ada 2 kitab Perjanjian Lama (PL) yang digunakan. Ada kitab PL yang mengikuti Kanon Palestina yang ditulis dalam bahasa Ibrani yang sama persis dengan kitab PL yang digunakan orang-orang Protestan hingga saat ini. Dan ada juga kitab PL yang mengikuti Kanon Alexandria yang ditulis dalam bahasa Yunani yang disebut dengan Septuaginta. Kitab ini sama persis dengan kitab PL yang digunakan oleh Gereja Katolik. Perbandingan antara Septuaginta dan Gulungan-gulungan Laut Mati yang ditemukan pada abad ke-20 menunjukkan bahwa ada “saksimata” yang akurat bagi Septuaginta. Yesus mengutip 80% Septuaginta pada ajaran-ajaranNya yang mengacu PL. Septuaginta adalah Kitab Suci yang digunakan pada zaman Yesus. Septuaginta memiliki susunan kitab yang sama dengan isi Alkitab modern, di lain pihak kanon Palestina memiliki susunan yang sangat berbeda. Alkitab NIV (versi terjemahan New International Version) menggunakan susunan kitab yang sama dengan Septuaginta, namun mengeluarkan beberapa kitab (kitab-kitab deuterokanonika) yang pada mula ditemukan di situ.
Kanon Alexandria dan Palestina hampir sama kecuali Septuaginta memiliki tujuh kitab Deuterokanonika yang oleh orang-orang Protestan disebut Apokripa.(“Kanon” dalam hal ini berarti susunan kitab). Para rasul dan Gereja perdana termasuk para Bapa Gereja menggunakan Septuaginta. Sinode para uskup Hippo di Afrika (393M) dan Kartago (397M) juga menegaskan keabsahan Septuaginta.
Orang-orang Protestan Injili lebih menyukai kanon Palestina ini karena disahkan (diratifikasi) oleh para rabbi Yahudi pada tahun 90M dalam sebuah konsili di Jamnia (ini bukan konsili para pemimpin kristiani!). Bagi Gereja Katolik konsili yang dilakukan oleh para rabbi Yahudi ini tidak diikat oleh Tuhan karena otoritas Tuhan telah diberikan kepada Gereja pada hari Pentakosta (Kis 2:1) 60 tahun sebelumnya. Beberapa orang mempertanyakan bagaimana jika konsili yang sebenarnya telah dilakukan di Jamnia tersebut namun pertanyan itu tidak mengubah pendirian Gereja. Para rabbi Yahudi itu memutuskan untuk mereview kanonisasi kitab suci setelah kebangkitan Yesus, dan keputusan-keputusan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan orang-orang Kristen (Gereja).
St. Yeremia tidak pernah memasukkan kitab-kitab tersebut (apokripa) ke dalam kitab Vulgata-nya, namun memisahkannya dari kitab-kitab yang asli yang merupakan wahyu ilahi. Gereja Katolik tidak pernah secara resmi menyatakan bahwa kitab-kitab deuterokanonika ini adalah wahyu ilahi sampai tahun 1546. Gereja Katolik memang telah memasukkan kitab-kitab tersebut ke dalam kanon, akan tetapi tidak pernah secara resmi mendeklarasikannya sebagai wahyu ilahi.”
Berikut ini adalah kutipan dari Columbia University (sebuah institusi sekuler):
“Mengenai kitab-kitab Deuterokanonika dalam kitab PL, St. Yeremia telah membuat terjemahan yang tergesa-gesa pada kitab Tobit, Yudit, Tambahan kitab Daniel dan Esther; namun ia tidak menyentuh kitab lainnya, oleh karena itu Vulgata memasukkan versi Latin Tua dari kitab-kitab tersebut.”
Vulgata selalu memasukkan kitab-kitab Deuterokanonika. Empat kitab telah diterjemahkan oleh St. Yeremia dan sisanya menggunakan bahasa Latin Tua. Dengan kata lain, Gereja selalu menerima kitab-kitab Deuterokanonika tersebut.
Kitab-kitab deuterokanonika tidaklah ditambahkan ke dalam Alkitab pada Konsili Trente seperti yang dikira orang-orang yang menentangnya. Orang-orang Kristen pada saat itu selalu menerima kitab-kitab tersebut sebagai bagian dari Alkitab. Alkitab berbahasa Latin yang disebut Vulgata yang ditulis oleh St. Yeremia pada tahun 400M pun berisi kitab-kitab Deuterokanonika. Penerimaan kitab-kitab Deuterokanonika secara resmi diteguhkan pada Konsili Trente sebagai tanggapan terhadap gerakan reformasi yang menolak kitab-kitab ini. Pada era gerakan reformasi inilah justru kitab-kitab ini baru ditolak.
Deuterokanonika mulai secara serius dipertanyakan oleh kaum Protestan. Alkitab yang dicetak oleh Gutenberg pada tahun 1455 juga berisi kitab-kitab Deuterokanonika. Alkitab yang dicetak Gutenberg ini adalah Vulgata dan ditulis dalam bahasa Latin. Alkitab ini jauh mendahului reformasi Protestan. Inilah hal yang kebanyakan tidak diajarkan pada orang-orang Protestan. Tidak ada Alkitab sebelum reformasi protestan yang tidak berisi kitab-kitab Deuterokanonika. Bahkan ada beberapa orang Protestan yang mengatakan bahwa kitab-kitab Deuterokanonika tidak dapat dimasukkan ke Alkitab karena tidak alkitabiah. Bukankah alasan ini alasan yang berputar-putar? Martin Luther mengeluarkan kitab-kitab deuterokanonika ini dari Alkitab versinya (ia juga mau mengeluarkan kitab Yakobus dan Wahyu). Sekarang, berdasarkan kanon yang baru itu, para protestan injili mengatakan bahwa Deuterokanonika tidak alkitabiah. Jika sejak awal mulanya kitab-kitab deuterokanonika sudah lama berada di dalam Alkitab seperti yang diungkapan oleh sejarah, maka dapat dikatakan bahwa kitab-kitab itu pada dasarnya sangatlah alkitabiah.
Sebenarnya yang ingin dikatakan bagi mereka yang menganggap bahwa kitab-kitab Deuterokanonika tidak alkitabiah adalah bahwa mereka menolaknya karena kitab-kitab ini mendukung pandangan Gereja Katolik tentang Api Pencucian dan mendoakan jiwa-jiwa orang mati di dalam Api Penyucian.
Dr. Art Sippo menjelaskan sedikit tentang sejarah Septuaginta yang merupakan Alkitab berbahasa Yunani yang sering dikutip oleh Yesus :
“Tidak ada satupun kumpulan tulisan yang disebut Septuaginta (LXX). Namun pada kenyataannya ada beberapa rumpun tulisan dan kebanyakan dari mereka pada dasarnya adalah tulisan-tulisan kristiani sejak abad pertama. Kita mengetahui bahwa kitab-kitab Deuterokanonika adalah sebenarnya bagian dari kumpulan tulisan kristiani pada masa itu. Inilah hal penting yang harus digarisbawahi. Ketika orang-orang Kristen (zaman dulu Kristen berarti Katolik karena protestan belum lahir, red) mengumpulkan PL pada 3 abad pertama tahun Masehi, mereka TANPA KECUALI menggunakan LXX dan memasukkan beberapa jika bukan semua kitab Deuterokanonika dan juga kadang-kadang karya-karya lain yang kita anggap apokripa (tidak asli). Kami dapat mengetahui ini karena kami memiliki beberapa kumpulan naskah kuno (kumpulan buku) dari Gereja perdana yang nampaknya telah dibuat melalui dekrit kekaisaran persis setelah Konsili Nikea pada tahun 325. Kami juga memiliki banyak daftar buku dari abad kedua (misalnya Muratorian Fragment = potongan-potongan tulisan Muratoria) dan kesaksian beberapa Bapa Gereja mulai dari Justinus Martir pada tahun 150M. Para Bapa Gereja juga secara luas mengutip kitab-kitab Deuterokanonika sejak dari abad pertama dan seterusnya. Sampai pada pertengahan abad 4 Masehi, tidak ada seorang pun secara serius menentang kanon PL yang panjang tersebut” (maksudnya kanon Alexandria di mana kitab-kitab Deuterokanonika ada di dalamnya, red).
Peter Flint, penulis satu-satunya terjemahan berbahasa Inggris dari Dead Sea Scrolls – Gulungan Laut Mati (yang diterbitkan pada tahun 1999). Bukunya yang merupakan terjemahan dari gulungan laut mati tersebut telah dinobatkan sebagai The Book of the Year 2003 (buku terbaik tahun 2003) oleh the Institute of Biblical Archeology Institut Arkeologi Alkitab di Washington DC. Profesor Flint, yang ternyata BUKAN SEORANG KATOLIK membuat sebuah pernyataan yang sangat kuat.
Jika Alkitab membutuhkan Gereja untuk menentukan kanon mana yang digunakan (kanon = daftar kitab), maka proses untuk memutuskan kanon mana yang digunakan tentunya merupakan inspirasi ilahi. Rahmat Tuhan yang sama itu pun dibutuhkan untuk memutuskan kitab-kitab mana yang harus dimasukkan ke dalam kanon seperti halnya Rahmat tersebut bekerja ketika kitab-kitab tersebut ditulis untuk yang pertama kalinya.
Sebagai pertimbangan pendekatan dapat dilihat dari 4 kemungkinan sbb :
- Tuhan sama sekali tidak menginspirasi pembuatan keputusan kanonisasi Alkitab,
- Tuhan telah memberikan bangsa Yahudi Rahmat-Nya itu pada abad 2M ketika mereka memilih Kanon Masoretik (setelah mereka menolak Putra-Nya, Sang Mesias),
- Tuhan memberikan Rahmat-Nya itu kepada gerakan Reformasi pada tahun 1546, atau
- Tuhan memberikan Rahmat-Nya itu kepada Gereja Katolik di Kartago pada tahun 397M.
Kita tidak dapat membayangkan Tuhan sepakat dengan adanya dua kanon yang berbeda ini terus mengambang, jadi kita menyingkirkankan kemungkinan #1. Kita juga tidak bisa membayangkan Tuhan harus menunggu 1550 tahun untuk menginspirasi gerakan reformasi memutuskan kanon mana yang dipakai. Jadi kita juga menyingkirkan kemungkinan #3. Sampai di sini kita meninggalkan 2 opsi yaitu apakah bangsa Yahudi-lah yang telah diberikan Rahmat ilahi untuk memutuskan kanon kitab PL di Jamnia, Palestina pada abad 2M ataukah Gereja Katolik-lah yang telah diberikan Rahmat ilahi itu di Kartago. Kita lebih sulit mengimani opsi #2 bahwa Tuhan telah memberikan Rahmat-Nya kepada bangsa Yahudi tersebut setelah mereka menolak Putra-Nya, sang Mesias daripada opsi #4 bahwa Rahmat itu justru diberikan kepada orang-orang Kristen awal yang menggunakan kitab-kitab deuterokanonika. Jadi, sebagai umat Katolik tentunya yakin bahwa Rahmat telah diberikan kepada orang-orang Kristen awal yang menggunakan kitab-kitab deuterokanonika itu dan meresmikan peneguhan kitab-kitab tersebut sebagai bagian dari Kanon Alkitab pad tahun 397M di Kartago.
Demikianlah penjelasan Katolik mengenai mengapa kitab-kitab deuterokanonika merupakan bagian dari Alkitab sejak Gereja perdana. Banyak inspirasi melalui kitab-kitab tersebut, terlebih dalam kitab Tobit, Susanna, Kebijaksanaan, dan Yudit. Jika Anda belum membaca kitab-kitab tersebut, ada baiknya untuk membacanya, Martin Luther sendiri sangat menyukai kitab Tobit. Kitab tersebut membentuk bagian dari Alkitab Luther.
Ikhtisar Waktu Penetapan Kanon Alkitab
Tahun 140M: Marcion, seorang pengusaha di Roma, mengajarkan bahwa ada 2 Tuhan: Yahweh, Tuhan yang kejam dalam Perjanjian Lama, dan Abba, Bapa yang baik dalam Perjanjian Baru. Marcion menghapus Perjanjian Lama sebagai Kitab Suci dan, oleh karena dia seorang anti-semit (anti Yahudi), Marcion hanya menggunakan 10 epistola Paulus dan 2/3 Injil Lukas (dia menghilangkan semua teks yang berhubungan dengan keyahudian Yesus). Kitab Perjanjian Baru versi Marcion, ketika pertama kali dikumpulkan, memaksa Gereja untuk memutuskan kanon inti kitab PB: keempat Injil dan Surat-surat Rasul Paulus.
Tahun 200M: batasan luar kanon belum ditentukan. Berdasarkan satu daftar yang dikumpulkan di Roma pada tahun 200M (Kanon Muratorian), Perjanjian Baru terdiri daru 4 injil, Kis, 13 surat Rasul Paulus (Ibrani tidak termasuk); 3 dari ketujuh Surat-surat umum (1-2 Yohanes dan Yudas); dan juga Apokalips Petrus.
Tahun 367M: daftar kitab PB terpanjang pertama yang jumlah dan urutannya persis sama dengan yang kita miliki saat ini ditulis oleh St. Athanasius, Uskup Alexandria, dalam surat Festal #39 tahun 367M.
Tahun 382M: Konsili Roma (di mana melalui konsili ini Paus Damasus mulai menggulirkan ide untuk menentukan kanon universal bagi semua Gereja kota). Konsili ini menentukan daftar kitab-kitab Perjanjian Baru yang jumlah dan urutannya sama dengan kitab PB saat ini.
Tahun 393M: Pada Konsili Hippo mulai ada yang menentang kanon Alkitab yang ditawarkan oleh Uskup Athanasius.
Tahun 397M: Konsili Kartago menyaring kembali kanon Alkitab bagi Gereja Barat, lalu mengirimnya kepada Paus Inosensius untuk diratifikasi (disahkan). Sementara itu di Timur, proses kanonisasi terhambat oleh lahirnya sejumlah skisma (khususnya di dalam Gereja Antiokia). Akan tetapi, hal ini akhirnya dapat diatasi.
Tahun 787M: Konsili Ekumenis di Nikea II yang mengadopsi Kanon Alkitab yang dibuat pada Konsili Kartago tahun 393M. Pada titik ini, Latin di Barat dan Yunani/Bizantium di Timur memiliki kanon yang sama. Namun demikian bangsa-bangsa bukan Yunani seperti aliran monofisit, gereja-gereja Nestorian di Timur (seperti Koptik, Etiopia, Siria, Armenia, Siro-malankar, kaldea, dan Malabars) masih tertinggal di belakang. Namun akhirnya, gereja-gereja ini sampai pada persetujuan kanon yang sama pada tahun 1442 di Florence.
Tahun 1442M: Pada Konsili Florence, seluruh Gereja mengakui 27 kitab. Konsili ini menegaskan kembali Kanon Alkitab yang dikeluarkan oleh Gereja Katolik Roma melalui pengesahan Paus Damasus I seribu tahun sebelumnya! Jadi, mulai pada tahun 1439 seluruh Gereja Katolik telah secara hukum terikat pada kanon yang sama. Ini telah terjadi 100 tahun sebelum gerakan reformasi Protestan!
Tahun 1536M: dalam melakukan terjemahan Alkitab dari bahasa Yunani ke Bahasa Jerman, Luther memindahkan 4 kitab Perjanjian Baru (Ibrani, Yakobus, Yudas, dan Wahyu) dan menempatkannya ke dalam sebuah appendix oleh karena menurutnya kitab-kitab tersebut tidak /kurang kanonis.
Tahun 1546: Pada Konsili Trente, Gereja Katolik menegaskan sekali lagi dan selamanya daftar penuh ke 27 kitab PB. Konsili ini juga menegaskan penggabungan kitab-kitab Deuterokanonika yang telah selalu menjadi bagian dari Kanon Alkitab sejak Gereja Perdana dan telah diteguhkan pada Konsili-konsili ekumenis Gereja pada tahun 373, 393, 787, dan 1442M. Di Trente, Roma, Gereja pada hakekatnya mendogmatisasi kanon yang sudah ada, membuatnya lebih dari sekedar masalah hukum kanon, dan untuk itu selamanya masalah kanon Alkitab mana yang benar dinyatakan selesai.
Kanon Perjanjian Lama dan Mitos Konsili Jamnia milik Yahudi
Kebanyakan mitos dipercayai bukan karena mitos-mitos tersebut benar tapi sekedar karena orang ingin mempercayainya. Tapi angan-angan bukan pengganti suatu kebenaran. Selalu lebih baik untuk menggali lebih dalam dan menemukan fakta-faktanya dan tidak mempercayai sesuatu hanya karena engkau menghendaki agar itu menjadi kebenaran.
Sebagai contoh, cukup populer dalam kalangan Protestant tertentu untuk meng-klaim bahwa orang Yahudi mempunyai kanon Kitab Suci yang telah ditutup pada abad pertama, dan bahwa umat Kristen awal menerima koleksi Yahudi yang final atas tulisan-tulisan ter-ilhami tersebut sebagai [keputusan yang juga] final dan mengikat Gereja. Umumnya, Konsili Jabneh (biasanya disebut literatur Katolik sebagai Jamnia) diasumsikan sebagai “bukti” atas klaim ini. Pada “Konsili Jabneh,” para Rabi Yahudi, dikatakan berkumpul — seperti konsili ekumenis di Gereja Katolik — untuk menetapkan kriteria spesifik bagi Kitab Suci yang ter-ilhami dan pada akhirnya mendefinisikan dan menutup kanon Perjanjian Lama.
Apakah ini benar?
Pertama-tama, kita akan melihat bagaimana berbagai penulis memper-tahankan pengecualian Protestant atas tujuh buku [ie. Deuterokanonika] yang didasarkan atas pemahaman yang cacat atas apa yang disebut “Konsili Jabneh.”
Kedua, apakah anggota-anggota “konsili” ini benar-benar mendiskusikan batasan kanon Perjanjian Lama,
dan ketiga, kalau memang begitu, apakah mereka mempunyai otoritas untuk menutup kanon? Keempat, apakah mereka benar-benar mengkompilasi sebuah daftar final mengenai tulisan-tulisan yang diakui, dan, kelima — dan yang penting — bila keputusan semacam itu telah dibuat, apakah umat Kristen terikat oleh keputusan itu? Kita akan mengakhiri dengan ajaran Gereja Katolik dan mengapa kita bisa mempercayai [ajaran tersebut].
Mari mengklarifikasi beberapa istilah. [Yang dimaksud] kanon Kitab Suci adalah koleksi final dari buku-buku ter-ilhami yang dimasukkan dalam Alkitab. Alkitab katolik mengandung tujuh buku yang tidak tampak di Perjanjian Lama Protestant. Tujuh tulisan ini disebut sebagai deuterokanonika atau Hukum Kedua [catatan DeusVult: “deuterokanonika” = “kanon tambahan.” Disebut “tambahan” karena baru diterima belakangan. Perjanjian Baru pun mempunyai buku-buku yang diterima belakangan alias “deuterokanonika,” yaitu surat Yohanes, Surat Yakobus, Surat kepada umat Ibrani dan Wahyu]. Protestant biasanya menyebut tujuh tulisan ini Apokripha (yang berarti tersembunyi), buku-buku yang menurut mereka berada diluar kanon. Termasuk didalam tujuh tulisan ini adalah Makabe 1 dan 2, Tobit, Yudit, Sirakh, Kebijaksanaan Salomo, dan Barukh, dan juga tambahan-tambahan untuk Daniel dan Ester. Sebelum jaman Kristus, tulisan-tulisan ini dimasukkan dalam Septuaginta Yunani para Yahudi (disebut juga LXX)—yaitu terjemahan Yunani atas Kitab Suci Yahudi—namun [tujuh buku dan tambahan-tambahan tersebut] tidak diikutkan dalam teks Masoretic Ibrani. [catatan DeusVult: Septuaginta tidak hanya mengandung tambahan deuterokanonika saja tapi juga buku-buku lain seperti Makabe III, Makabe IV dan lain-lain. Buku-buku lain tersebut dinilai oleh Gereja Katolik sebagai bukan bagian kanon PL meskipun baik untuk dibaca]
KanonYahudi
Kebanyakan orang Yahudi pada abad pertama sebelum masehi dan abad pertama sesudah masehi tinggal diluar Israel. Mereka disebut diaspora, [yang artinya] mereka yang tersebar di semerata Kekaisaran Roma. Banyak dari mereka telah ter-Hellenisasi—maksudnya, mereka telah mengasimilasi budaya Greco-Romano, termasuk bahasa Yunani. Septuaginta, yang mengandung buku-buku deuterokanonika, adalah Alkitab utama yang digunakan para umat Yahudi diaspora ini.
Kebanyakan umat Yahudi non-Kristen di abad pertama menganggap Gereja sebagai suatu kultus Yahudi yang bidat dan keliru, mungkin mirip dengan bagaimana umat Kristen menganggap Mormon atau saksi Yehuwa jaman sekarang ini. Pada abad pertama, beberapa dekade setelah kehidupan Kristus, mayoritas umat Kristen berasal dari kalangan non-Yahudi, dan mereka menggunakan Septuaginta Yunani sebagai Perjanjian Lama mereka, mengikuti contoh umat Yahudi berbahasa Yunani, termasuk Yesus dan para rasul (note 1, sidebar, page 25).
Ketika umat Kristen mulai menggunakan terjemahan Yunani ini untuk mempertobatkan orang-orang Yahudi ke iman [Kristen], para Yahudi mulai merasa jijik dengan terjemahan tersebut (note 2, sidebar, page 25). Apakah mengejutkan siapapun kalau mereka kemudian mengutuk kanon dan terjemahan yang digunakan umat Kristen, bahkan kalaupun [kanon dan terjemahan tersebut] pada awalnya diterjemahkan, diakui, dan disebarkan oleh para Yahudi sendiri tiga ratus lima puluh tahun sebelumnya (c. 250 B.C.)? Gereja awal, yang mengikuti Septuaginta Yunani dan [mengikuti teladan] para rasul yang menggunakan [Septuaginta Yunani tersebut] (Paulus mengambil kebanyakan kutipan Perjanjian Lama dari [Septuaginta Yunani]), menerima buku-buku deuterokanonika. Ketika kanon secara resmi ditutup oleh konsili-konsili Gereja Katolik, buku-buku ini telah dimasukkan.
Apa yang disebut “Konsili Jabneh” adalah sekelompok pelajar Yahudi yang diberi ijin oleh Roma pada sekitar tahun 90 untuk bertemu di Palestina didekat Laut Mediterania di Jabneh (Jamnia). Disini mereka mengadakan sebuah Sanhedrin [catatan DeusVult: semacam konsili atau mahkamah Yahudi] yang tidak otoritatif dan “reconstituted” (note 3, sidebar, page 25). Diantara hal-hal yang mereka diskusikan adalah kejelasan status dari beberapa tulisan-tulisan yang ada di Alkitab Yahudi. Mereka juga menolak tulisan-tulisan Kristen dan membuat sebuah terjemahan baru dari Septuaginta Yunani.
Karena banyak penulis Protestant yang merujuk kepada “Konsili Jabneh” sebagai argumen melawan buku-buku deuterokanonika yang terdapat di Alkitab Katolik, maka baiklah bagi kita untuk melihat beberapa contoh [dari rujukan para penulis Protestant terhadap konsili tersebut].
Dalam buku populernya Roman Catholics and Evangelicals: Agreements and Differences (ditulis bersama Ralph MacKenzie [Baker Books, 1995]), Norman Geisler, dekan dari Southern Evangelical Seminary, menolak kanon Perjanjian Lama Katolik dan mengklaim bahwa rabbi-rabbi Yahudi di Jabneh mengecualikan buku-buku deuterokanonika yang diterima umat Katolik dan [meng-klaim] bahwa kanon ditetapkan (di-finalisasi) di Jabneh.
Geisler menulis, “Para pelajar Yahudi di Jabneh (sekitar A.D. 90) tidak menerima Apokripha [ie. deuterokanonika] sebagai bagian dari kanon Yahudi yang di-ilhami [Allah]. Karena Perjanjian Lama secara eksplisit menyatakan bahwa kepada Israel dipercayakan firman Allah dan [Israel] adalah penerima perjanjian-perjanjian [covenants] dan Hukum (Rom 3:2), para Yahudi harus dianggap sebagai penjaga dari batasan kanon mereka sendiri. Dan mereka selalu menolak Apokripha [ie. deuterokanonika]” (169). Dan meskipun Geisler tampaknya menolak otoritas para rabbi di Jabneh di [bukunya] yang lain A General Introduction to the Bible (dengan W. E. Nix [Moody Press, 1996]), dia kemudian menuliskan dalam sebuah diagram, “Konsili Jabneh (A.D. 90), Kanon Perjanjian Lama ditetapkan” (286).
Geisler tidak sendirian dalam menilai bahwa pada Konsili Jabneh Apokripha ditolak dan Kanon Perjanjian Lama ditetapkan. Penilaian tersebut tampaknya bagai suatu legenda umum yang digunakan sebagai “bukti” untuk menguatkan sebuah asumsi tidak historis dan keliru. Sebelum kita melihat mitos tersebut, kita akan menunjukkan bagaimana [mitos] tersebut selalu dirujuk. Beberapa contoh akan rujukan yang dibuat pada “Konsili Jabneh” akan mencukupi:
“Pada akhir abad Kristen pertama, para rabbi Yahudi, pada Konsili Gamnia [Jamnia], menutup kanon buku Ibrani (yang dipandang otoritatif)” (Jimmy Swaggart, Catholicism & Christianity [Jimmy Swaggart Ministries, 1986], 129).
“Setelah kehancuran Yerusalem, Jamnia menjadi tempat bagi salah satu Sanhedrin Agung. Pada sekitar [tahun] 100, sebuah konsili para rabbi di tempat tersebut menetapkan kanon final Perjanjian Lama” (Ed. Martin, Ralph P., dan Peter H. Davids, Dictionary of the Later New Testament and Its Developments [InterVarsity Press, 2000, c1997], 185).
Meskipun banyak [penulis Protestant] sekarang yang mengakui bahwa Jabneh tidak mengecualikan buku-buku deuteokanonika atau secara otoritatif menutup kanon Perjanjian Lama, masih banyak sumber-sumber yang meng-klaim dan mengasumsikan bahwa hal tersebut dilakukan pada Konsili Jabneh.
Apakah Jabneh punya otoritas?
Menurut Oxford Dictionary of the Christian Church, “konsili” di Jabneh pada tahu 90 bahkan bukanlah suatu konsili “resmi” dengan otoritas mengikat untuk membuat keputusan seperti itu [ie. menetapkan kanon bagi umat Yahudi]:
“Setelah kehancuran Yerusalem (A.D.70), sebuah perserikatan guru-guru agama didirikan di Jabneh; badan ini dianggap menggantikan Sanhedrin, meskipun [badan ini] tidak memiliki karakter perwakilan atau otoritas nasional. Tampaknya salah satu subyek yang didiskusikan diantara para rabbi adalah status dari buku-buku Alkitab tertentu (sebagai contoh, Pengkhotbah dan Kidung Agung) yang kanonitas-nya masih terbuka untuk dipertanyakan pada abad pertama. Pandangan bahwa pada sinode Jabneh tertentu, yang diadakan sekitar 100 AD, yang dengan final menetapkan batasan-batasan dari kanon Perjanjian Lama, diutarakan oleh H.E. Tyle; meskipun [pandangan tersebut] beredar luas, tidak ada bukti yang meneguhkannya” (ed. oleh F. L. Cross dan E. A. Livingston [Oxford Univ. Press, 861], penekanan ditambahkan).
Bukankah menarik bahwa orang Yahudi tidak memiliki sebuah “kanon tertutup” Kitab Suci pada jaman Kristus, [atau] sebelum tahun 100, atau bahkan setelah Jabneh? Bahkan selama jaman Kristus ada pandangan-pandangan yang bersaingan mengenai buku-buku apa yang ada. Para Saduki dan Samaria menerima hanya Pentateukh, lima buku pertama, sementara Farisi menerima kanon yang lebih penuh termasuk Mazmur dan [tulisan-tulisan] para nabi. Teks Masoretic tidak mengandung deuterokanonika, sementara Septuaginta Yunani yang lebih luas dipakai [mengandung deuterokanonika].
Ketidakpastian ini berlanjut sampai abad kedua. Diskusi mengenai buku-buku di kanon Perjanjian Lama berlangsung diantara orang Yahudi jauh setelah Jabneh, [dimana hal ini] menunjukkan bahwa kanon masih didiskusikan di abad ketiga—jauh setelah periode apostolik. Tantangan [yang dibahas] pada Jabneh hanya mengenai Pengkhotbah dan Kidung Agung, tapi debat mengenai kanon [Perjanjian Lama] terus berlangsung sesudah Jabneh, bahkan sampai abad kedua dan ketiga. Bahkan kanon Ibrani yang diterima Protestant sekarang ini diperselisihkan oleh para Yahudi selama dua ratus tahun setelah Kristus.
Beberapa point yang harus diperhatikan:
- Meskipun penulis-penulis Kristen sepertinya mengira bahwa ada sebuah konsili formal di Jabneh, [sebenarnya] tidak ada yang seperti itu. Adalah satu sekolah untuk mempelajari Hukum [Taurat] di Jabneh, dan para rabbi disana melakukan fungsi-fungsi legal dalam komunitas Yahudi.
- Tidak hanya tidak pernah ada suatu konsili formal, tidak ada pula bukti adanya daftar buku apapun yang dihasilkan di Jabneh.
- Suatu diskusi spesifik mengenai penerimaan di Jabneh hanyalah [penerimaan] atas buku Pengkhotbah dan Kidung Agung. Meskipun begitu, argumen mengenai [status penerimaan buku-buku tersebut] masih terus berlanjut di Yudaisme berabad-abad setelah periode Jabneh. Juga ada perdebatan-perdebatan lanjutan mengenai [buku] Ester.
- Kita tahu bahwa tidak satupun buku dikecualikan di Jabneh. Bahkan, Sirakh, yang dibaca dan di-kopi oleh para Yahudi setelah periode Jabneh, lama-lama tidak menjadi bagian dari Alkitab Ibrani (cf. Raymond Edward Brown, Joseph A. Fitzmyer, and Roland Edmund Murphy, The Jerome Biblical Commentary [Prentice-Hall, 1996, c. 1968], vol. 2, 522).
Mengapa Gereja menolak kanon Yahudi ?
Kalaupun para rabbi di Jabneh memang mempunyai otoritas untuk menetapkan kanon dan memang telah menutup kanon. Siapa yang bisa berkata bahwa mereka punya otoritas dari Allah untuk membuat ketetapan yang mengikat tersebut? Mengapa umat Kristen mesti menerima ketetapan mereka? Allah telah secara publik berpaling dari para Yahudi sebagai “suara kenabian”-Nya dua puluh tahun sebelum [Jabneh] ketika Yerusalem dihancurkan dan dibakar api. Allah menghakimi mereka dan menolak kantong-kantong kulit yang tua [bdk.Mat 9:17]. Anggur tua dan kantongnya (Yudaisme) sekarang telah diganti dengan anggur baru (Injil) dan kantong-kantong baru (Gereja). Kenapa [malahan] menerima ketetapan para rabbi yang tidak punya otoritas daripada [ketetapan] Gereja?
Ada alasan lebih lanjut mengapa kita tidak seharusnya bersandar kepada para Yahudi abad pertama atas ketetapan mereka mengenai kanon [Perjanjian Lama], bahkan kalaupun mereka telah membuatketetapan seperti itu: Para rabbi di Jabneh kemudian menghasilkan sebuah terjemahan Yunani baru untuk menggantikan terjemahan Spetuaginta mereka sebelumnya. Mengapa? Karena umat Kristen non-Yahudi menggunakan Spetuaginta untuk tujuan apologetik dan penginjilan—dengan kata lain, mereka mempertobatkan umat Yahudi [catatan DeusVult: menjadi Kristen Katolik tentunya] dengan menggunakan Kitab Suci Yunani milik mereka sendiri!
Sebagai contoh, mereka [umat Kristen] menggunakan Septuaginta untuk membuktikan kelahiran perawan atas Yesus. Di Alkitab Ibrani, Yesaya 7:14 ditulis, “Seorang wanita muda akan mengandung dan melahirkan seorang putra,” sementara di Septuaginta Yunani, yang dikutip Matius (1:23), ditulis, “Seorang perawan akan mengandung dan melahirkan seorang putra” (penekanan ditambahkan). Para rabbi yang mestinya “menetapkan” kanon Protestant juga meng-otorisasi sebuah terjemahan Yunani baru yang secara spesifik menghalang-halangi injil. Aquila, penerjemah Yahudi untuk versi baru tersebut, mengingkari Kalahiran Perawan dan merubah kata Yunani dari perawan menjadi wanita muda.
Salah satu issu utama dalam pemikiran Yahudi abad pertama mengenai kanon bukanlah mengenai [status] ilham [ilahi dari buku-buku Kitab Suci] tetapi melawan penginjilan Kristen terhadap orang Yahudi dan non-Yahudi. Issue [utamanya] adalah Yahudi melawan ajaran Kristen baru dan penggunaan umat Kristiani atas Kitab Suci Yahudi yang berbahasa Yunani. Cukup aneh bagi Protestant untuk memilih kanon yang dipotong pendek yang dipilih oleh pemimpin-pemimpin Yahudi, dan karena tindakan tersebut mereka menempatkan diri di sisi Yahudi yang anti-Kristen dan telah ditanggalkan [otoritasnya].
Kita tidak tahu banyak mengenai hasil-hasil dari Jabneh, tapi kita tahu bahwa mereka menyebut Injil Perjanjian Baru. Mereka menyebutnya untuk secara spesifik menolaknya. F. F. Bruce menulis, “Beberapa yang berdebat juga bertanya apakah Kebijaksanaan Yesus bin Sirakh (Sirakh), dan gilyonim (tulisan-tulisan injil Aramaic) dan beberapa buku-buku dari para minim (para bidat, termasuk umat Kristen Yahudi), harus diakui, namun dalam hal ini jawabannya adalah negatif tanpa kompromi” (The Books and the Parchments [Fleming H. Revell, 1984], 88).
Kebanyakan Protestant menerima perlawanan para Yahudi atas kanon Kitab Suci Katolik karena [perlawanan tersebut] mendukung ke-anti-Katolik-an mereka. Namun umat Katolik telah menerima ketetapan dan kanon dari umat Allah Perjanjian Baru, mereka yang adalah para imamat baru (bdk. 1 Pet 2:9), kantong-kantong anggur baru. Sebagaimana kita perhatikan di awal-awal, komentar Geisler, “Karena Perjanjian Lama secara eksplisit menyatakan bahwa kepada Israel dipercayakan firman Allah dan [Israel] adalah penerima perjanjian-perjanjian [covenants] dan Hukum (Rom 3:2), para Yahudi harus dianggap sebagai penjaga dari batasan kanon mereka sendiri.” (Roman Catholics and Evangelicals, 169).
Apakah aku mesti menerima ketetapan pada rabbi sebagai sesuatu yang otoritatif dan mengikat bagi jiwaku, ketika jubah otoritas telah diberikan kepada Gereja oleh tindakan Roh Kudus? Apakah Geisler memberi pembaca-pembacanya informasi historis dan timeline ini, [yang bisa] mengingatkan [para pembacanya] bahwa Allah telah berpaling dari umat Yahudi dan menghancurkan kuil mereka sebelum “konsili” tanpa otoritas tersebut menolak Injil dan “seluruh kanon Kristen,” termasuk Perjanjian Baru?
Orang Yahudi tidak mempunyai kanon tertutup sebelum tahun 300AD, dan mereka “membentengi [kanon]” supaya umat Kristen tetap diluar. Mengapa bergantung kepada mereka? Aku menerima kanon para rasul dan Gereja awal, yang telah ditetapkan oleh Uskup-Uskup Gereja. Dan, seperti mereka, aku tidak menerima kanon dari pemimpin-pemimpin Yahudi anti-Kristen.
(Beberapa Bapa Gereja Awal, seperti Hieronimus, menerima kanon Masoretic Yahudi, tapi tidak pernah satu Bapa Gereja Awal secara individu yang membuat keputusan mengikat bagi Gereja, hanya konsili-konsili [Gereja] yang dapat melakukannya)
Kanon Perjanjian Lama tidak ditutup di Jabneh, dan deuterokanonika juga tidak dikecualikan dari Perjanjian Lama di Jabneh. Siapa yang mempunyai otoritas dari Allah untuk menetapkan dan menutup kanon Kitab Suci? Sederhananya, Gereja. Hierarkhi Yahudi pada masa Kristus meng-klaim otoritas untuk mengikat dan melepas, [dimana istilah “mengikat dan melepas”] dengan jelas dipahami sebagai istilah tekhnis, tapi Yesus secara spesifik menetapkan sebuah hierarkhi baru atas “Israel baru” — [yaitu] Gereja — dan memindahkan kepada magisterium baru ini kuasa untuk mengikat dan melepas (Matt. 16:19; 18:18). Gereja, karenanya, ditunjuk untuk berbicara bagi Allah, dan kanon final Kitab Suci termasuk dalam otoritas [Gereja].
Penulis Protestant Paul Achtemeier memberitahu kita, “tradisi Timur dan Katolik Roma umumnya menganggap buku-buku ‘apokripha’ Perjanjian Lama sebagai bagian dari kanon. Baru setelah munculnya Reformasi Protestantisme buku-buku tersebut ditolak status kanonikalnya (di lingkungan Protestant). Namun Gereja Roma tetap meneguhkan tempat [buku-buku tersebut] di kanon Kitab Suci” (Harper’s Bible Dictionary, 1st ed. [Harper & Row, c1985], 69).
Pada Konsili Trent Gereja menyelesaikan masalah tersebut dengan mendaftarkan secara definitif buku-buku yang diterima, termasuk deutero-kanonika, dan Katekismus Gereja Katolik meneguhkan daftar ini (KGK 120). Inilah Alkitab Katolik yang kita punyai saat ini.
Tidakkah menarik bahwa Martin Luther mengakui Gereja Katolik sebagai penjaga Kitab Suci (note 5, sidebar, page 25) ketika dia menulis, “Kami mengakui — sebagaimana kami harus — bahwa banyak yang mereka [Gereja Katolik] katakan adalah benar: [yaitu] bahwa kepausan memiliki firman Allah dan jabatan para rasul, dan bahwa kami menerima kitab suci, baptisan, sakramen, dan mimbar dari mereka. Apa yang kita ketahui akan semua ini kalau tidak berkat mereka (Katolik)?”
Sumber : evangelistic.blog.com (3 September 2011)