Pewahyuan Diri

Yohanes Agung Apriyanto

Pendahuluan

Dalam pewahyuan diri ini saya memilih injil Lukas 5:1-11 (panggilan dari penjala ikan menjadi penjala manusia) sebagai bingkai berefleksi atas perjalanan panggilan saya. Dalam kisah tentang penjala manusia tersebut, saya melihat ada tiga fase penting dalam proses pemuridan. Pertama, fase ketaatan dan kepercayaan (meskipun mustahil tapi Petrus tetap taat pada perintah Yesus untuk menebarkan jala). Kedua, fase bertolak/menuju ke tempat yang lebih dalam (Bahagia bersama Sang Pemanggil). Ketiga, fase perutusan (menjadi penjala manusia).

  1. Taat dan Percaya pada Rencana Sang Pemanggil “Tetapi atas perintah-Mu aku akan menebarkan jala”.

Saya percaya bahwa Sang Pemanggil mempunyai rencana atas hidup saya sejak semula. Saya adalah anak kedua, dari tiga bersaudara. Lahir pada 24 Desember 1989. Pendidikan: SD Negeri I Margorejo, Kec. Natar, Lampung Selatan (1995-2001); SLTP N I Adiluwih, Tanggamus, Lampung (2001-2004); SMK Bakti Idhata, Cilandak Barat, Jakarta Selatan (2004-2007); Rethorika BI-B2 Seminari Menengah St. Paulus Palembang (2007-2009). Paroki Asal: Paroki St Petrus Kalirejo Lampung, Keuskupan Tanjungkarang; Stasi: St. Maria – Muntilan. Nama Kakak Gregorius Beni Aprianto (Sekarang di Yogyakarta); dan adik: Maria Magdalena Dian Purwanti (bersama orangtua di Lampung). Nama Orangtua: Ayah: Makarius Suwardi dan Ibu: Elisabet Marsinem. Pekerjaan Orangtua adalah Tani.

Saya bangga dengan keluarga saya: sebuah keluarga sederhana dan cukup harmonis. Dalam keluarga ayah saya selalu mengajarkan bagaimana menjadi orang yang tenang, sabar dan bekerja keras serta bertanggungjawab. Begitu juga dengan ibu, ia selalu mengajarkan bagaimana bersikap sopan, rapi, dan mau menerima keadaan. Tidak hanya itu, mereka juga senantiasa menanamkan nilai iman kristiani bagi kami anak-anaknya, melalui hidup doa, ke gereja, pertemuan lingkungan, Legio anak-anak, misdinar dan mendorong kami untuk aktif dalam kegiatan orang muda Katolik. Meskipun hidup doa dan keaktifan dalam kegiatan menggereja selalu ditanamkan oleh kedua orang tua, namun keinginan untuk menjadi seorang imam tidak pernah terbesit didalam benak saya. Cita-cita saya kala itu adalah menjadi pengusaha.

Panggilan mulia menjadi seorang imam baru saya rasakan ketika lulus SMA. Saya dapat mengatakan bahwa panggilan oleh Sang Pemanggil kepada saya adalah diluar rasionalitas. Kisah panggilan saya bermula saat situasi kebimbangan untuk menentukan pilihan masa depan. Saat itu, 09 Juli 2007 saya dinyatakan lulus sebagai murid di SMK Bakti Idhata, Jakarta. Saya mempunyai dua pilihan antara mencari pekerjaan atau melanjutkan kuliah. Pertimbangan saya jika bekerja kemungkinan besar pekerjaan yang dapat saya lakukan hanyalah sekedar memperbaiki komputer atau prograimer sesuai dengan jurusan yang saya ambil ketika SMK. Itupun jika ada lowongan. Sebaliknya jika saya memilih untuk kuliah saya harus kembali duduk belajar dan berada di ruang kelas yang membosankan. Di tengah kebimbangan dan kebingungan itu tiba-tiba muncul dalam benak saya keinginan untuk menjadi imam. Pemahaman saya tentang imamat saat itu hanya sebatas tugasnya sebagai pemimpin misa, karismanya yang menawan dan kekudusannya. Sedangkan untuk proses menjadi imam saya tidak tahu sama sekali. Tapi dalam hati saya yakin bahwa seorang calon imam hanya belajar tentang berdoa dan melatih hidup rohani tanpa harus susah-susah belajar seperti di perkuliahan.

Keputusan saya adalah keputusan yang spontan, bukan berdasar permenungan panjang apalagi mendalami arti sebuah imamat. Seperti Simon begitu saja taat meaksanakan perintah Yesus meskipun diluar rasionalitas untuk dilakukan, Simon Menjawab: “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga”.  Saya juga percaya bahwa Tuhan mempunyai rencana bagi hidup saya. Di samping spontanitas, saya juga tidak tahu bahwa untuk menjadi seorang imam ternyata harus menjalani pendidikan di Seminari. Apa dan bagaimana hidup di seminari, sayapun belum tahu.

Menanggapi keputusan tersebut, kedua orang tua saya yang saat itu berada di Lampung sangat mendukung. Begitu juga dengan Om Natalis (seorang yang membiayai kehidupan dan pendidikan saya selama di SMK) ia sangat mendukung. Selanjutnya melalui saran dari Om Natalis (Om Lis) saya mencari informasi pendaftaran ke paroki St. Stefanus Cilandak Jak-Sel. Setelah mengisi formulir pendaftaran, pihak paroki meminta saya untuk langsung mengantarkan formulir tersebut ke seminari Wacana Bakti yang letaknya kurang lebih 1 jam perjalanan dari paroki. Yang menjadi persoalannya adalah saya tidak tahu di mana lokasi seminari tersebut. Ke esokan harinya dengan modal “nekad” dan keberanian, saya pun menuju lokasi seminari sesuai arahan pihak paroki. Sesampainya di lokasi saya langsung menyerahkan formulir dan dokumen lainnya kepada pihak seminari.

Beberapa minggu kemudian, saya mendapat panggilan untuk melakukan tes dan wawancara di seminari. Saat itu jumlah calon yang akan mengikuti tes berjumlah 6 orang (termasuk saya). Ketika melihat para calon yang lain awalnya perasaan saya menjadi minder. Saya melihat dari wajah mereka tampak seperti orang-orang pintar dan penampilan mereka yang kudus. Di bandingkan dengan saya “seperti anak jalanan”. Tetapi seorang pendamping mengatakan bahwa syarat utama penerimaan adalah dari hasil wawancara maka persiapkanlah dengan baik. Pernyataan ini seakan-akan kembali membangkitkan semangat saya.

Setelah dua hari menjalani tes dan wawancara, kami pun dapat pulang kerumah kami masing-masing. Seperti halnya perjalanan datang ke seminari ini, saya pun pulang seorang diri tanpa ada yang menemani. Selanjutnya saya menjalani hari-hari penuh penantian akan datangnya pengumuman. Satu minggu kemudian surat pengumuman itu pun datang. Perasaan gelisah dan penuh harapan menyelimuti hati dan pikiran saya. Saya membuka surat pengumuman itu dengan penuh hati-hati. Di dalamnya tertulis dengan huruf tebal menyatakan bahwa saya diterima. Saya sungguh merasa senang sebab perjuangan saya selama ini telah berhasil.

Tiga hari kemudian saya mendapat kembali surat dari pihak Semianari Wacana Bakti. Surat itu berisi pemberitahuan bahwa penerimaan siswa baru untuk priode 2007-2008 dibatalkan. Alasannya, dari enam calon yang mendaftar hanya empat yang diterima, tetapi hanya dua yang menyatakan lanjut (saya dan seorang calon lain). Pemberitahuan ini begitu saja menghancurkan kebahagiaan yang sedang saya rasakan. Harapan dan mimpi saya begitu saja telah sirna. Namun setelah berkonsultasi dengan pihak seminari, mereka menawarkan untuk masuk ke Seminari menengah Palembang. Dengan bekal surat reomendasi dari Seminari Menengah Wacana Bakti, saya pun berangkat seorang diri ke Seminari menengah Palembang dan bergabung di sana.

  1. Fase Bertolak/menuju ke Tempat yang Lebih Dalam (Bahagia bersama Yesus)

Fase bertolak/menuju ke tempat yang lebih dalam (bahagia bersama Yesus) saya alami tatkala saya menjalani panggilan di Seminari Menengah St. Paulus-Palembang dan Seminari Tinggi St. Petrus-Pematangsiantar. Melihat latar belakang kepribadian dan kerohanian selama saya SMA, saya sungguh tak menyangka bahwa saya diterima dan dapat menjalani proses menjadi seorang imam. Bagi saya semua itu adalah misteri Allah yang sungguh menakjubkan. Allah menghendaki agar saya semakin dalam mengenal-Nya dan membentuk diri dalam menyambut perutusan-Nya.

Jumat 05 Juli 2007 adalah awal perjalanan saya dari Jakarta menuju Palembang dengan menggunakan bus. Perjalanan tersebut membutuhkan waktu 2 hari tiga malam lamanya. Ketika awal datang ke seminari palembang, saya ibarat “seekor bebek yang masuk di kandang ayam”. Saya merasa diri sebagai orang asing yang tak tau harus berbuat apa. Misalnya saat berkomunikasi dengan para seminaris yang lain, saya bingung harus memakai bahasa Indonesia atau Jawa. Namun saya lebih memilih untuk memakai bahasa gaul seperti saat berada di Jakarta, yaitu memakai istilah “elo, atau gua”.  Pada kesempatan memperkenalkan diri di hadapan para seminaris tentang nama dan tempat tinggal, saya mengatakan bahwa saya berasal dari Paroki Kalirejo Lampung. Mendengar itu tiba-tiba mereka langsung tertawa. Mereka menyangka bahwa saya adalah orang Jakarta asli oleh karena logat bahasa yang saya pakai, tapi kenyataannya adalah sesama orang Jawa dari Lampung yang juga fasih berbahasa Jawa.

Saat itu teman satu kelas saya berjumlah 14 orang. Mereka berasal dari Palembang, Lampung dan Pangkalpinang. Memasuki tahun ajaran ini saya sunggung merasakan pergulatan batin yang luar biasa. Antara bertahan atau pulang. Saya tidak menyangka bahwa di seminari saya harus kembali belajar seperti di sekolah pada umumnya. Saya sangat menyesal karena memutuskan untuk masuk seminari. Lebih baik saya memilih melanjutkan kuliah atau bekerja. Perasaan menyesal ini terus menerus menghantui pikiran dan hati saya. Sehingga saya tidak merasa nyaman mengikuti segala kegiatan yang ada. Selain belajar kami juga di tuntut untuk mendalami hidup doa yang ekstra serta kedisiplinan. Berat rasanya menjalani ini semua. Situasi ini sangat berbeda tatkala saya berada di Jakarta.

Ketika mendapat kesempatan untuk menelfon keluarga, perasan gelisah tersebut saya ungkapkan kepada kedua orang tua, saat itu mereka berkata: “mamak dan Bapak tidak pernah memaksa kamu masuk seminari, itu adalah pilihannmu sendiri. Maka sekarang belajarlah  bersikap dewasa atas pilihan yang kamu buat”. Kata-kata mereka ini seakan mengguncang hati saya. 

Satu tahun masa pendidikan telah berlalu, perlahan-lahan saya mulai beradaptasi dengan segala rutinitas yang ada, berdoa, belajar, disiplin dan menarik diri dari segala tawaran kenikmatan dunia. Saya mulai belajar memahami arti imamat dan mencoba mengenal lebih dalam tugas serta pribadi seorang imam. Saya berusaha untuk tidak tinggal dalam penyesalan, tetapi melangkang ke depan dan menjadikan pilihan saya bermakna. Perubahan sikap dalam diri saya ini terjadi melalui permenungan panjang serta keterbukaan saya untuk mau mendengarkan orang-orang yang mencintai dan peduli terhadap perjalanan hidup saya.

Menegaskan diri dalam memilih panggilan hidup: komitmen, pengalaman, konfliktual dan compassion demi Kerajaan Allah” Kalimat tersebut menjadi tema ketika saya mengikuti ret-ret akhir tahun kedua di Seminari Menengah Palembang. Tepatnya 27-31 Januari 2009  bersama teman-teman dari kelas Rhetorica B2 dan Rhetorica A, kami mengadakan ret-ret di Giri Nugraha, Palembang. Ret-ret tersebut diberikan oleh romo Sarwo Kabul, seorang imam diosesan Keuskupan Agung Palembang.  Selama lima hari kami diajak untuk menggali kembali motifasi panggilan dan merenungkan makna panggilan yang kami jalani. Semua itu diperlukan agar kami semakin yakin dan mantap dalam menanggapi panggilan Allah serta membentuk pribadi seorang yang terpanggil. Ret-ret ini juga menjadi sarana untuk merenungkan dan menentukan arah panggilan, apakah menjadi imam Konggregasi (SCJ, Karmel, SSCC, Fransiskan, dll) atau menjadi imam Diosesan (Keuskupan).

Tidak mudah bagi saya untuk menentukan pilihan tersebut. Meskipun sejak awal saya ingin menjadi Imam Diosesan, tetapi saya harus memilih antara diosesan Tanjungkarang “rumah saya” atau diosesan Palembang. Pada akhirnya saya memilih untuk menjadi calon imam diosesan keuskupan Agung Palembang. Alasan utama ialah saya ingin berada jauh dari keluarga agar tetap fokus dalam pelayanan Gereja. Hal ini bukan berarti saya ingin melupakan atau memutuskan hubungan dengan keluarga, tetapi sebagai seorang imam, saya ingin memusatkan pikiran dan hati untuk melayani seluruh umat Allah tanpa lagi terikat pada hubungan dengan orang tua maupun keluarga besar/sanak saudara. Alasan ke dua adalah keinginan saya untuk mencari tantangan dalam situasi pastoral yang baru.

Pilihan menjadi calon imam Diosesan Palembang justru mendapat pertentangan dari beberapa pihak. Pertama dari seorang teman yang berasal dari Keuskupan Tanjungkarang. Ia mengatakan bahwa saya adalah seorang penghianat, PKI, ingin lari dari masalah, dan ingin menjadi imam di kota. Bahkan ia juga mengancam dengan kalimat “Lihat saja siapa nanti yang akan menjadi imam”. Selain itu pilihan menjadi imam Diosesan juga mendapat tanggapan negatif dari orang-orang di kampung di mana kedua orang tua saya tinggal. Pada dasarnya mereka (orang-orang tersebut) menghendaki agar saya memilih menjadi imam biarawan seperti SCJ. Mereka cenderung membanding perbedaan antara imam biarawan dan Diosesan akan tetapi pada dasarnya perbandingan dan pemahaman kedua jenis imam itu tidak mereka mengerti dengan baik bahkan salah. Menurut mereka imam nomor satu adalah imam biarawan seperti SCJ. Sedangkan Diosesan atau Projo adalah imam nomor dua. Dasar pemikiran mereka berangkat dari asumsi bahwa imam Diosesan dapat mempunyai banyak uang pribadi dengan kata lain bisa kaya. Dengan demikian bagi mereka motifasi saya menjadi imam Diosesan ialah supaya dapat memberi uang kepada orang tua, agar keluarga saya menjadi kaya. Menanggapi hal itu seorang pembimbing di seminari mengatakan “biarkan mereka mau berkata apa saja, toh yang mau menjadi imam kan kamu bukan mereka’.

Seminari Tinggi St. Petrus-Pematangsiantar. Tempat bina ini adalah awal saya meniti panggilan sebagai calon imam diosesan KAPal, tentu dibuka dengan pembinaan rohani di TOR St. Markus. Bahagia bersama Sang Pemanggil menjadi warna dasar dalam perjalanan hidup saya di sini. Saya belajar banyak bagaimana bergaul dengan teman-teman yang berbeda latar belakangnya (suku, seminari menengah, karakter, dll). Saya semakin intensif menata diri supaya kelak menjadi imam diosesan KAPal yang berkualitas (kualitas dalam kepribadian, kualitas dalam hidup rohani, kualitas dalam pengetahuan dan berkualitas dalam berpastoral).

Merenungkan perjalanan panggilan ini, saya semakin menyadari bahwa semua karena Kasih Allah. Oleh karena itu, Moto panggilan saya adalah Aku tidak menuruti kehendakku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus aku” (Yoh 5:30).

            Pengalaman iman dikasihi Allah ini membantu saya bersyukur dan berjuang dengan setia menghidupi panggilan ini. Karena Allah mengasihi saya, maka Ia memanggil saya. Karena Allah adalah Kasih, maka Ia menolong dan mendampingi perjuangan saya bergumul dalam panggilan ini. Karena Allah adalah Kasih, maka Ia tetap memanggil kendati saya rapuh dan lemah. Akhirnya, Allah adalah Kasih itu memanggil saya untuk menjadi sarana-Nya menaburkan kasih bagi banyak orang, melalui jalan panggilan menjadi Imam Diosesan KAPal.

Walaupun dalam suasana dikasihi oleh Sang Pemanggil, saya juga masih digoyangkan oleh keraguan dan godaan. Saya kadang kala masih seperti Petrus yang ragu akan kuasa Yesus “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa” Itulah saat-saat ‘keraguan’ dalam perjalanan saya sebagai frater Diosesan KAPal. Saat keraguan yang justru membuat saya semakin gigih untuk menemukan Sang Terang.

Bagaikan ‘bejana tanah liat’, saya siap dibentuk. Dalam kerapuhan itu juga, saya mencoba menghayati tiga nasihat Injili (ketaatan, kemurnian, kemiskinan). Saya menghayati ketaatan sebagai suatu sikap pemberian diri untuk setia dalam menjalankan segala sesuatu. Ketaatan membawa diri saya pada kebebasan yang terarah.  Hal ini diwujudkan dengan tidak mencari kesenangan sendiri, mengikuti formation pembinaan dengan baik, melaksanakan tugas dan tanggungjawab.

            Kemurnian tidak hanya berkaitan dengan seksualitas atau bukan sekedar tidak kawin. Bagi saya kemurnian juga berkaitan dengan orientasi penggilan. Menghayati kemurnian berarti bersikap total dalam menjalani panggilan dan melaksanakan kehendak Allah. Kemurnian ini misalnya terkait dengan semangat untuk benar-benar menjadi imam, kemurnian dalam menjadi diri sendiri, dan kemurnian untuk tulus melakukan perbuatan.     

 Menurut saya, nasihat Injili kemiskinan ialah hidup dalam kesederhanaan. Akan tetapi menghayati kemiskinan bukan berarti tidak tahu apa-apa. Artinya, karena terlalu menghayati kemiskinan maka tidak ada niat sedikitpun untuk mengetahui perkembangan zaman, misalnya dalam bidang teknologi. Kemiskinan dalam arti kesederhanaan ialah tidak di perbudak atau tergantung  oleh barang-barang tertentu. Selain itu bagi saya kemiskinan tidak melulu terorientasi pada barang dan kenikmatan melainkan kemiskinan sebagi sikap haus dan lapar akan rahmat Allah. Maka saya perlu berdoa dan bersyukur.

  1. Fase perutusan (menjadi penjala manusia)

“Jangan takut, mulai sekarang engkau akan menjadi penjala manusia”. Setelah mengalami rahmat yang begitu besar dari Yesus, kini Simon Petrus di utus menjadi penjala manusia bersama Yesus. Kata “Jangan takut” saya refleksikan dalam konteks menghadapi kenyataan pastoral, bahkan kenyataan menderita. Jangan takut mempunyai mimpi-mimpi bagaimana menjadi imam diosesan kelak.

Impian saya tentang gambaran Imam Diosesan yang baik adalah Imam yang memancarkan Kasih Allah. Gambaran Imam Diosesan yang memancarkan Kasih Allah itu memiliki beberapa ciri khas, antara lain: Pertama, Keteladanan Hidup. Imam harus mampu menjadi teladan, baik keteladanan hidup rohani maupun kepribadian. Kedua, totalitas pelayanan, gambaran seorang imam adalah gambaran seorang gembala yang baik. Gembala yang mengenal domba-dombanya dan gembala yang berkorban untuk kawanannya. Ketiga, kesetian. Panggilan seorang imam adalah untuk melayani bukan untuk di layani. Keempat, hospitalitas. Imam yang mempunyai waktu dan hati bagi umatnya. Kelima, imam yang jujur dan terbuka. Jujur dalam kata dan tindakan, terbuka dalam kritik dan saran demi perkembangan pribadi yang lebih baik.

  1. Penutup

Dalam manapaki perjalanan panggilan ini saya sadar bahwa keraguan, dan putus asa sering menjadi penghalang. Tetapi saya yakin kasih Yesus melampaui keterbatasan saya. Kasihnya membantu saya untuk tetap setia dalam panggilan ini. Kasihnya menguatkan saya untuk terus menaruh kepercayaan: seperti kata Petrus “Tetapi atas perintah-Mu, aku akan menebarkan jala juga”. Maka dalam menjalani panggilan ini saya pun  mengatakan Aku tidak menuruti kehendakku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus aku” (Yoh 5:30).