Pidato Paus Fransiskus di PBB Mungkin Berpijak Pada Para Pendahulunya
Pidato Paus Fransiskus di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 25 September mendatang akan menandai pidatonya yang kelima yang disampaikan secara langsung kepada perwakilan pemerintah di seluruh dunia. Pidatonya yang akan datang hampir 50 tahun sejak 4 Oktober 1965 ketika Paus Paulus VI menjadi Paus pertama yang berbicara di Sidang Umum PBB. Sementara isi pidato Paus Fransiskus tidak akan diungkapkan hingga dia menyampaikan pidatonya, namun ada kemungkinan bahwa topiknya seputar martabat manusia yang menjadi dasar kehidupan Kristen – kepedulian terhadap orang miskin dan terpinggirkan, para migran yang mencari keamanan, peduli terhadap lingkungan – bisa menjadi tema-tema yang menonjol dalam pidatonya.
Tiga pendahulu Paus Fransiskus yang berbicara di Majelis Umum PBB – Paus Paulus VI, Paus Yohanes Paulus II, dan Paus Benediktus XVI. Mereka membahas isu-isu yang mencerminkan tantangan sosial dan politik yang besar di era mereka. Tidak ada alasan bagi Paus Fransiskus akan mengubah arah, terutama pada saat ini dunia sedang menghadapi tantangan serius terkait kesejahteraan umat manusia. Paus Paulus VI membuat sejarah tahun 1965, ketika Konsili Vatikan II baru berakhir. Dia menjadi Paus pertama yang mendorong PBB melakukan perubahan signifikan, posisi Gereja Katolik di tengah-tengah Perang Dingin dan ancaman perang nuklir menjadi latar belakang dari pidatonya.
Mengacu pada Piagam PBB, Paus Paulus VI mendesak para pemimpin dunia “membuat diri mereka setara” dalam upaya mengatasi arogansi, yang mengarah ke konflik dan bahkan perang.“Jangan ada satu negara pun dari anggota organisasi kalian menjadi lebih superior dari yang lain. Ini adalah kesetaraan …. Bukan berarti kalian semua sama, tapi di sini kalian membuat diri kalian setara,” kata Paus Paulus. Mengutip Presiden John F. Kennedy, Paus Paulus mendesak perwakilan dunia mengakhiri perang: “Manusia harus mengakhiri perang atau perang akan mengakhiri umat manusia.”
Hak asasi manusia
Pada Sidang Umum PBB ke-24 pada 2 Oktober 1979, Paus Yohanes Paulus II mengangkat Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia sebagai dasar untuk semua tindakan oleh badan dunia tersebut. Dia berargumen bahwa setiap pria dan wanita “dianugerahi dengan martabat sebagai manusia, dengan budaya sendiri, pengalaman dan aspirasi, ketegangan dan penderitaan serta harapan.” Referensi pada deklarasi itu, ia mengatakan, “Dokumen ini adalah tonggak bagi umat manusia yang panjang dan sulit. Kemajuan manusia harus diukur tidak hanya oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menunjukkan keunikan manusia berkaitan dengan alam, tetapi juga dan terutama oleh keutamaan yang diberikan kepada nilai-nilai spiritual dan kemajuan kehidupan moral.”
Dia juga mempertanyakan moralitas perlombaan senjata yang melibatkan senjata baik konvensional maupun nuklir. Dia mengatakan negara-negara mencari senjata baru dan lebih canggih menunjukkan “bahwa ada keinginan untuk siap perang.” Paus Yohanes Paulus II menyatakan, perang adalah sebuah penghinaan terhadap martabat manusia dan melanggar hak-hak dasar manusia.Pidato kedua di Majelis Umum PBB, 5 Oktober 1995, pada ulang tahun ke-50 badan dunia itu, Paus Yohanes Paulus II mencermati bahwa ketegangan nuklir dari era Perang Dingin telah mereda. Namun, ketegangan etnis di tempat-tempat seperti Balkan dan Afrika Tengah serta munculnya pemberontakan bersenjata.
Penerimaan perbedaan antara manusia dan budaya menjadi salah satu pesan kunci St. Yohanes Paulus kepada PBB. Ia kembali mengangkat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai panduan untuk bertindak. Menekankan “kesetaraan” antara manusia, Paus Yohanes Paulus menyerukan rasa solidaritas dengan orang-orang yang dianiaya hendaknya muncul dalam pembahasan PBB. Dia juga mengeluarkan seruan kepada badan dunia itu untuk membangun “keluarga bangsa-bangsa” yang akan menimbulkan “saling percaya, saling mendukung, dan saling menghormati dengan tulus.”
Globalisasi
Paus Benediktus XVI berpidato di Sidang Umum PBB pada 18 April 2008 selama perjalanannya ke Amerika Serikat. Paus Benediktus mengambil tema pidatonya dan mengulangi seruan untuk menghormati martabat manusia, kebebasan beragama dan membangun keluarga manusia. Globalisasi merupakan sebuah topik yang menjadi perhatian utama Paus Benediktus yang dibahas dalam pidatonya. Dia mengatakan banyak negara “berisiko mengalami dampak negatif globalisasi”. Dia mengatakan kebebasan beragama harus ditegakan karena agama berkontribusi besar untuk umat manusia dan sejarah.
Dia juga menyerukan PBB mempromosikan HAM sebagai “strategi paling efektif menghilangkan kesenjangan antara negara dan kelompok-kelompok sosial dan meningkatkan keamanan”. Sebagai seorang imam dari negara berkembang, Paus Fransiskus kemungkinan akan mengangkat tema-tema ini dan memberikan pandangan pribadi di tengah kekhawatiran kontemporer berdasarkan pengalamannya dengan orang miskin dan rentan di negara asalnya Argentina.
Sumber: ucanews.com