Riwayat hidup
I. Data Pribadi:
Nama Lengkap : Romanus Edi Suryono
Tempat Tanggal Lahir : Bumi Agung, 3 November 1987
Anak Ke : 2 dari 4 bersaudara
Nama orang tua : Bapak Hardianus Tarjan & Ibu Yustina Sudarmi
Alamat Rumah : Dusun Bandar Agung I Gereja Antonius Padua Stasi Negeri Unyai
Kecamatan Bahuga Lampung-Utara
Asal Paroki : Paroki Trinitas Bangunsari BK III Buay Madang OKU Timur Sumatera Selatan 32161
Riwayat Pendidikan
Tahun 1995-2000 : SD Negeri 02 Bumi Agung, Way Kanan Lampung Utara
Tahun 2000-2003 : SMP Pangudi Luhur Sukaraja Buay Madang OKU Timur
Tahun 2003-2006 : SMK Xaverius I Buay Madang OKU Timur
Tahun 2008-2010 : Seminari Menengah Stela Maris Bogor
Tahun 2010-2011 : Tahun Orientasi Santo Markus Pematangsiantar
Tahun 2011-2014 : Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi, Santo Yohanes Pematangsiantar
Tahun 2014-2015 : Tahun Orientasi Pastoral di Paroki Santo Petrus & Paulus serta
Panti Asuhan Rumah Yusuf, Baturaja
Tahun 2015-2017 : Post S1/Pascasarjana STFT, Santo Yohanes Pematangsiantar
Tahun 2017-2018 : Menjalani masa PenPas di Paroki Penyelenggaraan Ilahi Lubuklinggau.
7 Januari 2018 : Tahbisan Diakonat dan menjalani masa Diakonat di Paroki Penyelengaraa Illahi Lubuklinggau
Romanus Edi Suryono, sebuah refleksi singkat
“Ia yang mengutus Aku, Ia menyertai Aku” Yoh 8:29
II. Adanya Benih untuk menjadi Seminaris
Banyak cara, Tuhan Yesus memanggil dan memilih seseorang untuk menjadi gembala-imam. Bagi saya, pangilan saya menjadi imam adalah unik dan menarik tetapi terkesan datang tiba-tiba. Awalnya tidak pernah saya pikirkan dan cita-citakan. Sederhana sekali panggilan saya tertarik masuk seminari. Saat itu, saya masuk seminari karena sebatas ajakan teman sekelas SMP. Waktu itu saya juga tidak begitu tahu tentang pendidikan di seminari. Namun, saya masih belum punya niat menjadi imam. Kebetulan saat itu, orangtua juga melarang saya masuk seminari.
Mereka meminta saya untuk melanjutkan ke SMA atau SMK. Saya melanjutkan SMK Xaverius Belitang-Jurusan Akuntansi dan romo paroki menyarankan saya tinggal di pastoran. Tetapi tawaran itu saya tolak, saya ingin kost. Tetapi, akhirnya saya tinggal di pastoran bersama romo. Tinggal bersama romo, bagi saya kesempatan untuk mengenal kehidupan romo dan saya yakin dengan mengenal ritme, tugas dan kehidupan romo, akan sangat menumbuhkan benih panggilan untuk menjadi imam, tinggal bersama romo, ada kesempatan untuk pergi kestasi-stasi dan saya senang ketika diajak pergi ke stasi-stasi, jika tidak diajak, langsung saya ikut saja.
Setelah SMK, saya di luar 1 tahun. Tetapi, niat untuk menjadi romo tetap ada. Maka, saya masuk Seminari Stela Maris Bogor. Di seminari, saya bukan seminaris yang banyak bakat, bukan seminaris yang pandai. Tetapi, saya bersyukur bisa menempa diri saya di seminari terutama Seminari Stella Maris-Bogor. Saya juga bersyukur bahwa di Seminari Stela Maris-Bogor saya diberi kebebasan untuk menentukan pilihan. Saya tidak dipaksa untuk pilih Keuskupan, Ordo atau Konggregasi tertentu. Saya sungguh diberi kebebasan untuk memilih antara : diosesan berbagai keuskupan, tarekat, dan ordo. Atas kebebasan itu, saya memutuskan untuk test ke Keuskupan Agung Palembang. Saya memilih Keuskupan Agung Palembang bukan pertama sebagai pelarian, melainkan saya mencintai Keuskupan Agung Palembang dan ingin membaktikan hidup saya untuk pelayanan umat beriman di Keuskupan Agung Palembang.
III. Kesungguhan dalam Menanggapi Panggilan
Saya menghitung bahwa sejak di seminari menengah hingga seminari tinggi di tingkat akhir hampir 10 tahun saya menempa diri di rumah pendidikan calon imam. Kurang lebih sepuluh tahun saya berjuang untuk merawat benih supaya bertunas, berakar kuat, tumbuh dan akhirnya menghasilkan buah. Sebagai manusia, saya sadar bahwa saya banyak kekurangan dan kelemahan-kelamahan. Tahap demi tahap sudah saya lewati. Dalam proses itu, saya berjuang dan terus berjuang. Terkadang, saya juga jatuh, merasa diri tidak sanggup, putus asa, kecewa, bahkan merasa tidak berdaya menghadapi berbagai situasi yang ada. Akan tetapi, keinginan untuk menjadi seorang imam tidak pernah hilang dalam diri saya.
Tahun Orientasi Rohani (TOR) adalah suatu masa, waktu dan sekaligus tempat saya mengolah dasar hidup rohani, dan juga tempat saya bergulat dalam mengolah hidup panggilan. Karena pergulatan itu, terkadang saya mau memutuskan untuk pulang. Tingkat 1-4 adalah tahun awal pembinaan di STSP juga membuat saya terus bergulat dengan panggilan, saya belajar kembali untuk beradaptasi di tempat yang baru, soal aturan, ritme, tuntutan, dan banyak hal. Atas situasi di rumah pembinaan, saya terkadang berpikir, apakah saya bisa mempertahankan panggilan untuk menjadi imam atau saya harus menarik diri? Sebuah pilihan yang tidak mudah saya putuskan. Pergulatan itu di satu sisi berpengaruh pada semangat panggilan menjadi imam, tetapi di sisi lain juga sangat berdampak dalam hidup harian saya. Misalnya : hidup rohani, hidup kerja, hidup komunitas, dan aspek-aspek lainnya.
Dalam pergulatan itu, saya pelan-pelan mengikuti proses pembinaan yang ada. Saya belajar menerima keadaan dan situasi pembinaan di STSP. Saya tidak mau menyerah dan saya harus berani dan terus berjuang. Saya tidak mau menyalahkan siapa-siapa, tetapi saya sadar bahwa saya harus menerima kanyataan hidup di seminari dan inilah konsekuensi pilihan saya yang ingin menjadi romo. Oleh sebab itu, saya berani membenahi, mengoreksi, dan menempa diri saya. Saya berjuang dan tetap semangat untuk belajar dan mengikuti pola, dan proses hidup di seminari. Bahkan, situasi yang ada justru memberi arti tersendiri yakni mendorong saya cepat untuk menyelesaikan skripsi lalu menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral. Masa TOP di Paroki Santo Petrus dan Paulus Baturaja dan sekaligus ikut mendampingi pembinaan anak-anak panti asuhan putra dan putri Rumah Yusup, bagi saya adalah masa penyegaran dalam hidup panggilan dan proses pembinaan saya. Maka, masa TOP menjadi masa yang membuat hidup saya bahagia. Terasa ringan menjalani hidup sebagai frater.
IV. Keuskupan Agung Palembang sebagai pelabuhan terakhir
Pertanyaan saat itu yang muncul adalah mengapa saya memilih calon imam untuk KAPal? Gambaran KAPal itu tepat apa yang dituliskan oleh penginjil Lukas 10:2-3 dikatakan, “ Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian itu, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu ”. Keuskupan Agung Palembang masih sangat membutuhkan hadirnya imam-imam diosesan baru yang mau melayani, mengabdi dan memberi diri sepenuh hati untuk mengembangkan iman umat. Wilayah keuskupan KAPal yang luas, medan pastoral yang cukup menantang dan beragam etnis budaya umat beriman adalah sebuah tantangan tersendiri. Apalagi imam-imam diosesan yang belum mencukupi, juga tantangan. Bahkan, bapak uskup harus mendatangkan imam diosesan dari luar mengisi kekurangan yang ada. Atas situasi tersebut, benar sabda Tuhan bahwa tuaian itu banyak, tetapi pekerja sedikit. Oleh sebab itu, saya ingin menjawab kekurangan akan imam diosesan demi kebutuhan umat Allah.
V. Sebagai Imam Diosesan, saya berkaca
Pemazmur 8:5 berkata: “Apakah manusia sehingga Engkau Allah yang Mahaagung mengingatnya”. Saya ingin mengawalinya dengan sebuah perumpamaan. Adalah hidup ini ibarat sebuah biji. Biji itu ditanam, dipupuk, disiram, dan dirawat dan yang secara diam-diam berkembang menghasilkan buah. Siapakah saya ini Tuhan? Adalah sebuah pertanyaan untuk diri saya. Siapakah saya? Kesadaran utama saya adalah pribadi manusia yang dipilih sebagai imam. Allah mencipta saya sesuai dengan citra-Nya. Maka, karena saya tercipta sesuai dengan citra Allah berarti dalam diri saya ada gambaran Allah. Menjadi gambar Allah bukankah demikian maksud Allah mencipta manusia? Baiklah kita mencipta manusia menurut gambar dan rupa Kita (kej 1:26) menghayati keunikanitu berarti mewujudkan gambaran Allah yang khas.
Lalu apa yang menjadi pembawaan saya, saya mencoba bercermin pada Yesus. Saya melihat bahwa Yesus mempunyai kesadaran yang penuh tentang identitas-Nya “Aku adalah terang dunia (Yoh9:5), Ia memiliki kesadaran jernih tentang tugas perutusan-Nya “Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan banyak orang (Mrk 10:45) dan selanjutnya Ia memiliki kepercayaan diri yang penuh “Bapa, Aku tahu Engkau selalu mendengarkan Aku” (Yoh 11:42). Singkatnya, sebagai imam diosesan, saya harus membawa terang dalam tugas, pelayanan dan perutusan.
VI. Imam Diosesan adalah imam yang menghidupi Kerohanian
Dalam buku pedoman pembinaan calon imam diosesan, ada salah satu point penting yakni : hendaknya para calon imam membuka hati dan budi bagi Roh Kudus, pembina Utama, yang akan menyatukan mereka dengan Kristus. Karena Roh Kudus itulah, mereka akan semakin menyerupai Kristus, dan bertambah teguh dalam iman, harapan dan cinta kasih. “ Iman itu insan cinta kasih, dan dipanggil untuk mendidik sesama menurut teladan Kristus dan menurut cinta kasih persaudaraan ”.
Hidup rohani seorang imam dibangun lewat perayaan ekaristi, ibadat harian, meditasi, retret, rekoleksi, live-in unio, dan doa-doa lainnya. Sebagai imam, hidup rohani adalah unsur yang penting dan menjadi pondasi yang kuat. Sebab, hidup rohani yang subur dapat menyuburkan semangat pelayanan, semangat kegembalaan, dan saya yakin bisa memberi rasa aman, memberi kesegaran ketika saya haus, meneduhkan jiwa dalam mengarungi lorong panggilan Tuhan. Sebab menjadi imam, saya tidak bisa melepaskan diri saya dari pembinaan hidup rohani.
VII. Imam Diosesan mentaati Tiga Nasehat Injili
- Ketaatan
Apa yang bisa saya renungkan dalam sikap ketaatan? Ketaatan adalah bukti dari sikap seorang beriman sebagai seorang beriman, saya harus menaruh sikap tunduk, segan dan hormat terhadap Allah. Dalam sikap pasrah terungkap taat tidak ada sikap neko-neko. Dalam ketaatan yang ada hanya sikap pemberian diri apa adanya. Dalam ketaatan ini, saya banyak belajar dari sikap Yesus yang taat kepada Bapa-Nya. Dari sinilah saya dibawa pada pengertian yang benar dari sebuah ketaatan. Yesus taat pada Allah Bapa untuk menjalankan dan menyelesaikan tugas dan karya-Nya di dunia ini hingga sengsara, wafat dan bangkit. Inilah bukti ketaatan-Nya kepada Bapa-Nya. Sebagai imam diosesan, saya harus taat, tunduk, hormat dan patuh kepada uskup, sebagai bapak saya. Di mana saya akan ditugaskan dan ditempatkan, saya harus selalu katakan siap.
2. Kemiskinan
Di zaman modern, ketika membicarkan tentang hidup dalam kemiskinan rasanya tidak masuk akal, aneh dan mustahil. Mengapa? Dalam kenyataan, justru setiap orang bekerja keras untuk mendapatkan segalanya sehingga hidup sejahtera, tidak kekurangan dan tidak ketinggalan zaman. Inilah pola hidup dan cara berpikir manusia pada umunya di dunia ini. Lalu sebagai imam, bagaimana hidup dan menghidupi kemiskinan? Walaupun situasi demikian, saya berpikir bahwa tidak menutup kemungkinan seorang imam belajar hidup miskin. Lalu apa itu kemiskinan? Dalam hidup ditampakkan hidup yang menghayati nilai kesederhanaan, sehingga perlu dikembangkan sikap kejujuran dan bertanggung jawab. Sejak dari pembinaan di seminari, calon imam dilatih untuk hidup sederhana. Saya bersyukur bahwa Yesus menunjukkan hidup dalam Kesederhanaan.
Saya pernah mendapat pertanyaan dari umat demikian : mengapa frater masuk projo? Tapi, saya masih bingung mengapa romo projo terkesan romo yang mencari kekayaan. Berkaca dari pengalaman itu, saya berefleksi bahwa bagi saya menjadi imam entah sebagai imam projo/ordo/tarekat/konggregasi itu sebetulnya kaya. Kaya banyak sisi. Dan kekayaan itu dengan sendirinya ada dalam hidup seorang imam. Dari segi material, saya sadar bahwa seorang imam tidak pernah kekurangan sandang, pangan, papan/tempat tinggal, dan bahkan memiliki pendidikan tinggi. Maka, jelas imam itu masuk golongan kelas ekonomi keatas/kaya. saya yakin bahwa segi material bukan yang dicari dari kebanyakan imam.
Kedepannya, apakah saya menjadi imam yang miskin atau imam yang kaya. Saya tidak terlalu pusing dengan hal itu, tergantung saya bertugas. Jika saya ditempatkan di paroki yang miskin, situasi umat yang miskin, saya adalah imam miskin seperti umat. Jika saya ditempatkan di paroki kaya/kota, saya adalah imam bagi umat yang di kota. Intinya, yang namanya imam, menurut saya tidak miskin, sebab dengan identitas imamnya, ia sudah dalam kategori kelompok/golongan kaya.
3. Kemurnian
Secara singkat, hanya saya mau katakan bahwa kemurnian berarti adalah hidup tulus, suci dan bersih, seluruh diri ini saya baktikan kepada Allah dalam pelayanan sebagai seorang imam diosesan.
VIII. Imam Diosesan mengembangkan Kasih Pastoral-Kegembalaan di Paroki
Masa PenPas dan masa Diakonat, menjadi masa dimana saya belajar mengembangkan kasih kegembalaan. Sebagai imam diosesan, ada sebuah gambaran yang ideal yakni : imam yang menghidupi keimamatannya. Apa artinya? Bahwa saya harus menjadi imam yang setia. Setia terhadap tugas dan tanggungjawabnya dan tidak tebang pilih, tidak pilih kasih, tidak membedakan antara yang kaya dan miskin dalam pelayanan. Apakah pelayan semacam itu gampang? Bagi saya juga tidak gampang. Tetapi harus diperjuangkan. Untuk sampai gambaran yang ideal, di sinilah saya harus belajar setia dalam hal-hal kecil dan tidak memilih-milih.
Kisah Kasih Pastoral-kegembalaan saya, saya berharap dapat menghantar umat menjadi beriman yang militan, bijaksana, mencintai Tuhan dan sesama, bertindak jujur, adil, serta membangun wajah Gereja yang menjunjung tinggi martabat manusia. Pertanyaan sederhana, tetapi sulit untuk saya jawab adalah : apa gambaran yang bisa saya wujudkan sebagai imam? Saya sejak awal tidak menggambarkan sosok imam yang hanya duduk di kantor paroki, imam yang hanya betah di pastoran saja, apalagi tidak mengumat.
Juga saya tidak pernah menggambarkan diri saya imam yang kaku dalam berpikir selalu menganggap pendapat diri benar, dan keras dalam bertindak. Akan tetapi, saya menggambarkan diri sebagai seorang imam yang sebisa mungkin dekat dengan umat, meluangkan waktu untuk berkunjung ke lingkungan, berkunjung ke rumah umat, meluangkan waktu ikut doa lingkungan, duduk ngobrol dengan anak-anak muda, merangkul semua, tidak membeda-bedakan dan dalam berpastoral mengajak umat untuk membangun Gereja bersama serta terbuka akan pikiran – pendapat yang positif serta membangun dari umat sendiri.
Saya tidak mau menjadi pastor centris, apa-apa tergantung pada pastor. Bagi saya arti imam projo itu sebenarnya sederhana yakni imamnya umat dan mestinya meng-umat. Apa yang saya katakan ini, sudah banyak dihidupi oleh banyak imam. Dan imam yang bisa seperti itu, lebih dicintai umatnya. Bagi saya itu sudah memenuhi imam/gembala yang baik. Sekalipun-disisi lain, masih banyak kriteria-kriteria menjadi imam/gembala yang baik.
Bagi saya, tidak mudah menghidupi secara sempurna gambaran imam yang baik. Artinya, konsekuensi bagi saya dalam berpastoral adalah saya kembali belajar dan terus belajar bersama umat di tengah kenyataan hidup umat dan belajar terhadap situasi dunia yang semakin berkembang pesat. Apa yang bisa saya tuliskan ini, saya tetap menyakini bahwa “ Ia yang mengutus Aku, Ia menyertai Aku” Yoh 8:29. Saya tidak berjalan sendiri, tetapi berjalan bersama Tuhan dan seluruh umat Allah.