Sejarah perayaan Hari orang kudus 1 November
Pada hari raya orang kudus (1 November) Gereja Katolik merayakan hari para orang kudus, baik mereka yang telah dikanonisasikan/ diakui Gereja sebagai Santo/ Santa, maupun para orang kudus lainnya yang tidak/ belum dikenal. Dalam Doa Syahadat pendek, Gereja mendoakan semua anggota tersebut “Aku percaya akan Persekutuan para Kudus”. Para kudus merupakan model, teladan kekudusan yang kita tuju. Sebab para kudus merupakan saksi-saksi iman bagi Gereja, karena persatuannya mereka dengan Yesus secara erat. Di antara mereka yang berbahagia itu teristimewa para Santo-Santa, Beato-Beata yang telah merintis jalan dan penuntun bagi kita. Bersama Bunda Maria, mendoakan kita agar tekun dalam perjuangan dan tabah dalam penderitaan. Bersama mereka kita menantikan Kristus yang akan menyatakan diri dalam kemuliaan, dan menjadikan kita serupa dengan Dia. Pada saat itulah terjalin kesatuan kita secara sempurna dengan Kristus dan dengan semua saudara kita. Gereja juga menjadi Umat Allah yang bersatu dalam satu Roh sebagai Tubuh Kristus dan Bait Roh Kudus (lih. Ef 4:15). Maka Gereja juga menjadi ”Persekutuan dalam Roh Kudus” (Flp 2:1; 2Kor 13:3; 1Yoh 1:7). Persekutuan Para Kudus merupakan persekutuan yang mencakup persekutuan para kudus sepanjang zaman.
Gereja telah mulai menghormati para Santo/ Santa dan martir sejak abad kedua. Hal ini terlihat dari catatan kemartiran Santo Polycarpus di abad kedua sebagai berikut: “Para Prajurit lalu, menempatkan jenazahnya [Polycarpus] di tengah api. Selanjutnya, kami mengambil tulang- tulangnya, yang lebih berharga daripada permata yang paling indah dan lebih murni dari emas, dan menyimpannya di dalam tempat yang layak, sehingga setelah dikumpulkan, jika ada kesempatan, dengan suka cita dan
kegembiraan, Tuhan akan memberikan kesempatan kepada kita untuk
merayakan hari peringatan kemartirannya, baik untuk mengenang mereka yang telah menyelesaikan tugas mereka, maupun untuk pelatihan dan persiapan bagi mereka yang mengikuti jejak mereka.” (St. Polycarpus, Ch. XVIII, The body of Polycarp is burned, 156 AD). Para Bapa Gereja, antara lain St. Cyril dari Yerusalem (313-386) mengajarkan demikian tentang penghormatan kepada para orang kudus: “Kami menyebutkan mereka yang telah wafat: pertama- tama para patriarkh, nabi, martir, bahwa melalui doa- doa dan permohonan mereka, Tuhan akan menerima permohonan kita …. (Catechetical Lecture 23:9).
Pada awalnya kalender Santo/ Santa dan Martir berbeda dari tempat yang satu ke tempat lainnya, dan gereja-gereja lokal menghormati orang- orang kudus dari daerahnya sendiri. Namun kemudian hari perayaan menjadi lebih universal. Referensi pertama untuk merayakan hari para orang kudus terjadi pada St. Efrem dari Syria. St. Yohanes Krisostomus (407) menetapkan hari perayaannya yaitu : Minggu pertama setelah Pentakosta, yang masih diterapkan oleh Gereja- gereja Timur sampai sekarang. Gereja Barat, juga
kemungkinan pada awalnya merayakan demikian, namun kemudian
menggeserkannya ke tanggal 13 Mei, ketika Paus Bonifasius IV
mengkonsekrasikan Pantheon di Roma kepada Santa Perawan Maria
dan para martir pada tahun 610. Perayaan hari para orang kudus pada
tanggal 1 November sekarang ini kemungkinan ditetapkan sejak zaman Paus Gregorius III (741) dan pertama kali dirayakan di Jerman. Maka hari perayaan ini tidak ada kaitannya dengan perayaan pagan Samhain yang dirayakan di Irlandia. Perayaan 1 November sebagai hari raya (day of obligation) ditetapkan tahun 835 pada jaman Paus Gregorius IV. Tentang oktaf perayaan (1-8 November) ditambahkan oleh Paus Sixtus IV (1471-1484) (C. Smith The New Catholic Encyclopedia 1967: s.v. “Feast of All Saints”, p. 318.). Semoga bermanfaat.
Serba-serbi
Bulan Arwah
Siring perubahan jaman dan kebiasaan, berkembang pula kebutuhan dalam penghayatan akan sesuatu hal. Selanjutnya hal tersebut berpengaruh pada praktek penghayatannya. Tak terluput dalam penghayatan tradisi di Gereja kita. Gereja Katolik makin lama makin kaya akan warisan sekaligus pengembangan penghayatan tradisi yang boleh dikata juga menjadi tuntutan kebutuhan seiring perkembangan jaman.
Kita sedapat mungkin mengisi seluruh waktu hidup kita dengan
menghayati iman kita. Saat ini hampir semua bulan dalam tahun,
sudah kita persembahkan kepada Tuhan sebagai bulan dengan tema
penghayatan tertentu.
• Bulan Januari kita sebut sebagai Bulan Perdamaian,
• Menyusul kemudian masa Prapaska,
• Kemudian bulan Mei selain sebagai bulan Maria, juga kita
intensikan sebagai bulan Liturgi,
• Bulan Agustus sebagai bulan kebangsaan, melengkapi intensi
tetap yang selama ini mewarnai kalender liturgi kita.
Secara khusus pada awal bulan November kita merayakan Hari Raya
Semua Orang Kudus dan Peringatan Arwah seluruh Umat Beriman.
Setiap hari kita berhadapan dengan kematian, entah menimpa anggota keluarga kita, entah tetangga kita, entah orang lain di sekitar kita atau
di tempat lain. Kematian bisa menimpa siapa saja: anak, orang muda,
orang dewasa atau orang tua. Sebab-sebab kematian juga ada berbagai macam. Ada yang mati karena lanjut usia, karena sakit dan komplikasi yang lama, ada yang tiba-tiba meninggal dunia karena penyumbatan jantung, ada yang akibat kecelakaan, ada pula yang mati karena terkena musibah atau bencana. Menghadapi kematian orang merasa takut. Bisa juga dia menghadapinya dengan ketabahan hati. Tergantung kesiapan batin masing-masing. Bahkan ada yang menghadapi kematian secara
berani, atas dasar prinsip dan keyakinan kebenaran yang dipegang
teguh sehingga tak gentar menghadapi resiko kematian. Kematian juga
sering menimbulkan rasa sedih, kehilangan, sepi yang mendalam.
Terlebih bila yang meninggal orang yang kita cintai atau dekat dengan
kita. Pada bulan November Gereja secara khusus mengajak merenungkan kematian dan mendoakan arwah. Tanggal 2 bulan tersebut adalah peringatan arwah menurut liturgi Gereja. Tradisi peringatan ini sudah lama berlangsung dalam Gereja. Dalam kalendarium liturgi ditulis bahwa tiap imam pada hari ini boleh merayakan tiga ekaristi. Rumusan misa pada hari ini pun ada tiga : Misa Arwah 1, Misa Arwah 2, dan Misa Arwah 3.
Mengapa kita mendoakan arwah? Karena kita menyadari bahwa saudara-saudara kita tidak selalu dalam keadaan sungguh suci dan bersih hati ketika dipanggil Tuhan. Mereka menanggung beban dosa menurut bobot masing-masing. Dosa ini tentu menghalangi mereka dalam bersatu dengan Tuhan yang Mahasuci, sumber hidup dan kebahagiaan sejati. Mereka sudah tidak berdaya mengubah situasi hidupnya karena sudah tidak melekat pada daya-daya hidup seperti waktu di dunia fana, yaitu pikiran, perasaan, kehendak. Mereka adalah arwah yang menanti belas kasih. Maka kita mendoakan mereka agar diampuni dosanya dan menerima belas kasih Tuhan sehingga mengalami penyucian dan penyelamatan. Doa untuk arwah mendasarkan diri pada harapan akan kebangkitan, sebagaimana dirumuskan pada Prefasi Arwah I, “Sebab Dialah yang telah menumbuhkan harapan kokoh akan kebangkitan mulia; sehingga kami yang sering takut akan maut yang tak terelakkan itu sungguh-sungguh dihibur oleh hidup abadi yang telah dijanjikan kepada kami. Oleh karena itu sebagai umat beriman kami yakin bahwa hidup hanyalah diubah, bukannya dilenyapkan; bahwa suatu kediaman abadi tersedia bagi kami di surga bila mengembaraan kami di dunia ini berakhir”. Sedangkan Prefasi Arwah 4 menekankan bahwa kita telah ditebus oleh wafat Kristus, “Sebab kami dilahirkan oleh kuasa cipta-Mu, hidup kami diatur oleh kebijaksanaan-Mu, dan atas ketentuan-Mu pula kami kembali menjadi tanah sebagai akibat dosa. Namun kami sudah ditebus oleh wafat putera-Mu dan seturut kehendak-Mu kami akan dibangkitkan supaya ikut serta menikmati kebahagiaan mulia bersama Yesus Kristus, Tuhan kami”. Pada bulan November ini kita berdoa untuk para arwah demi keselamatan mereka, juga agar kita diingatkan akan kematian kita yang tak terelakkan, bakal menimpa siapa saja dalam waktu dekat ataupun lama, sehingga kita lebih siaga dengan kehidupan kita yang berkenan kepada Tuhan dan mengarah pada keselamatan.***