Biodata
Nama Lengkap : Yohanes Ongko Handoko (Fr. Black / Fr. Ongko)
Tempat / Tanggal Lahir : Ds. Aro (Ma. Bulian-Jambi), 10 April 1989
Asal Paroki : Santo Paulus, Muara Bungo, Jambi
Asal Seminari : Seminari Menengah Santo Paulus Palembang
Nama orangtua : Alm. Bapak Amadeus Botu & Ibu Kristina Lindri Cahyani
Riwayat Pendidikan
1994-1996 : TK. Desa Aro, Muara Bulian
1996-2000 : SD Swasta Desa Aro Muara Bulian
2000-2001 : SD Swasta PT. IFA, Tebo
2002-2005 : SMPN N 21 Tebo
2005-2009 : Seminari Menengah Santo Paulus Palembang
2005-2008 : SMA Xaverius I Palembang
2008-2009 : Rhetorica A Seminari Menengah Santo Paulus Palembang
2009-2010 : Tahun Orientasi Rohani Santo Markus Pematang Siantar
2010-2014 : Fakultas Filsafat Universitas Katolik Santo Thomas Medan
2014-2015 : Tahun Orientasi Pastoral di Paroki Santo Yoseph Palembang
2015-2017 : Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Santo Yohanes Pematang Siantar
Juli 2017-sekarang : Penpas di Seminari Menengah Santo Paulus Palembang
Kerinduan
Saya adalah anak kedua dari 6 bersaudara, 4 berturut-turut cowok, dan dua terakhir cewek. Ayah berdarah Flores (Maumere) dan ibu berdarah Jawa (Purworejo – kalau tak salah). Stasi Unit XII, Rimboulu, Paroki Muara Bungo adalah daerah di mana saya berasal. Meski sejak menjelang SMP kami pindah ke daerah ini, namun tempat ini tidak asing, karena merupakan daerah tempat keluarga besar dari ibu. Sebuah daerah transmigrasi yang banyak ditanami karet dan sawit.
Kisah masa kecil, diwarnai dengan beberapa kali pindah rumah, dikarenakan perkerjaan ayah. Berakhir di tempat yang sekarang dari sebuah komplek perusahaan beralih ke sebuah daerah perkebunan. Tentu ini mengubah gaya dan pola didik diriku. Baik terkait kehidupan seharian maupun beriman. Apalagi ditambah dengan tinggal menemani kakek dan nenek yang berjiwa kerja, sungguh mengajarkanku bertanggung jawab kerja tangan, ngurusin sapi, kebutuhan dapur, kebersihan pekarangan, menyadap karet dan lain-lain yang pastinya bisa menghasilkan dan bermain tidak menjadi bagian di dalamnya. Sapi, mengisi hari-hariku, dari bangun pagi bahkan hingga menjelang pejam kembali. Segala kesibukan ini, ditambah lagi situasi diri sebagai orang baru di daerah itu, dan perbedaan agama dengan kakek (keluarga besar dari ibu), menjadikan saya nyaris tak pernah ke gereja, bahkan tak tahu berada di mana.
Dinamika bersama kakek berlangsung hingga kelas 3 SMP. Karena orang tua saya takut saya tidak mau terus sekolah gara-gara situasi tersebut, saya diberi ‘SK’ untuk kembali kerumah bersama mereka. Di sinilah saya mulai tahu ke gereja; tahu sitasi umat Katolik (satu stasi, berjumlah belasan KK dan saling berjauhan rumah, juga gerejanya). Lebih jauh, saya berani menerima tawaran seorang tetangga Katolik (satu-satunya) melalui ibu saya, untuk tes ke seminari. Kebetulan, tak berselang lama, para seminaris mengadakan aksi panggilan. Kesempatan inilah yang membuat saya tahu di mana gereja paroki Santo Paulus, Muara Bungo. Niat pertama saya ikut tes dan akhirnya masuk ke seminari menengah adalah agar bisa rajin ke gereja (ketika SMP, saya jarang sekali pergi ke gereja) dan mencoba menambah pengalaman, bisa jalan-jalan. Tidak ada pengetahuan dasar yang saya miliki tentang apa itu seminari. Satu hal yang pasti saya tahu bahwa di sana ada banyak romo dan bisa rajin ke gereja untuk merayakan Ekaristi.
Perjumpaan
Pemahaman tentang apa itu seminari, siapa romo dan bagaimana agar bisa menjadi romo, saya dapat seiring menjalani proses formatio di seminari menengah hingga seminari tinggi. Muncul kesadaran dan ketertarikan akan identitas diri sebagai pemuda yang terpanggil menjadi seorang calon imam. Pada saat inilah keyakinan yang besar, seakan ada kepastian bahwa saya akan menjadi romo. Semua dinamika dan rutinitas hidup harian menghantar saya pada idealism asa, yaitu : bahwa saya ingin menjadi seorang romo.
Perjumpaan dengan teman-teman seperjuangan dan kaum terpanggil, seolah mengajak saya untuk datang lebih dekat, lebih dalam. Tentu tidak mudah, bagi si anak desa yang item, cilik, harus menyesuaikan diri dengan ritme hidup dan studi di seminari. ‘Rumput tetangga seakan lebih hijau’, terbersit rentetan alasan logis yang mencoba menghalau dan mengikis jalan panggilan-Nya. Di tambah lagi dengan rekan-rekan terpanggil, bahkan mereka yang dekat dan diidolakan, mundur teratur, pamit diri dari formasi. Belum selesai di situ, Ayah yang telah puluhan tahun menemani ibu, aku dan saudara-saudariku pun, akhirnya beristirahat pada usianya ke 58 tahun. Pada tanggal 20 Mei 2012, ia tidur dan tak bangun lagi. Peristiwa itu terjadi ketika saya sebagai frater tingkat dua di Pematangsiantar. Saat-saat seperti inilah terbentang keraguan dan kekuatiran akan hidup dan panggilan yang membiaskan perjumpaan dengan kasih dan penyertaan Yang Ilahi.
Saat mengingat ‘unik’ nya cara Tuhan memanggil, membuat saya seolah serupa dengan Si Paulus, atau si Penjahat yang bertobat ketika mengalami perjumpaan dengan-Nya. Memang, Tuhan ini ada-ada saja yang biasa bahkan tak biasa, dijadikan luar biasa, ada dan berharga. Benarlah nas yang berbunyi, bahwa Dia datang untuk memanggil para pendosa. Doa dan dukungan, dari ‘alat-alat’-Nya membantuku membuka tabir indra penglihatan untuk bisa berjumpa dengan-Nya. Di hadapan kasih-Nya, terlihat jelas ketidaklayakan dan kerapuhanku, alat sederhana yang dipakai-Nya. “Buluh yang patah takkan diputuskan-Nya, sumbu yang pudar nyalanya takkan dipadamkan-Nya” (Mat 12:20). Itulah kegembiraan dan kekuatanku. Meski kecil, aku berharga di mata-Nya.
Kegembiraan
“Hatiku bersukaria karena Tuhan” (I Sam 2:1) menjadi ayat emas yang saya hidupi sejak menjalani masa TOR. Ayat ini mengungkapkan iman dan perjuangan dalam menjalani panggilan. Nas ini merupakan sebuah pernyataan seorang perempuan yang mengandung masa senjanya, dan juga seruan seorang dara yang mengandung tanpa sentuhan pria. Sebuah ungkapan kegembiraan dan kepasrahan yang menguatkan, karena perjumpaan dan penyelenggaraan cinta Tuhan yang terkadang sulit untuk dimengerti bahkan di luar nalar insan.
Semangat inilah yang coba saya bangun : menyadari dan mensyukuri karya cinta Tuhan yang selalu hadir, bahkan dalam ketidak mungkinan manusia sekalipun. Satu hal yang pasti : di dalam Dia ada sukacita dan kegembiraan, bagi mereka yang berpegang pada-Nya. Meski itu bukan berarti sebuah kemudahan. Dalam kegembiraan inilah yang menghantar saya untuk membagikan dan membaktikan diri pada umat di Keuskupan Agung Palembang. Sebuah kegembiraan atas cinta dan belas kasih Allah yang nyata hadir dalam setiap pelayanan sakramental, maupun pastoral melalui para gembala. Akhirnya, biarlah semua jiwa boleh bergembira di dalam dan bersama-Nya, hingga tiba saatnya.