Surat Gembala Uskup Agung Palembang, Mgr. Yohanes Harun Yuwono

Palembang, 13 Februari 2023

Surat Gembala Pra-Paskah 2023, No : 337/Dio.KAPal/II/2023


TUHAN, KASIHANILAH KAMI ORANG BERDOSA


Saudara-saudari terkasih dan terberkati,

  1. Kembali kita memasuki masa Pra-Paskah. Tahun ini, Tahun Syukur atas Anugerah Iman, adalah tahun awal dari sepuluh tahun Ardas Keuskupan Agung Palembang hasil Sinode 2022. Sangat pantas tahun 2023 ini kita sebut sebagai Tahun Syukur. Di tahun 2023 ini kita merayakan 100 tahun Prefektur Apostolik Bengkulu (sejak 27 Desember 1923). Kendatipun telah pernah menjadi Prefektur Apostolik dan tidak (belum) menjadi Keuskupan, Bengkulu sekarang menjadi bagian
    dari Keuskupan Agung Palembang. Entah mengapa namanya Perfektur Apostolik Bengkulu walau pusatnya di Tanjung Sakti. Barangkali karena Bengkulu adalah kota yang lebih besar. Yang jelas kini jumlah umat di Paroki Bengkulu jauh lebih besar daripada jumlah umat di Tanjung Sakti. Tahun ini kita juga merayakan 100 tahun Kongregasi SCJ berkarya di Indonesia. Kendatipun imam-imam Yesuit dan Kapusin yang mengawali pewartaan iman di Keuskupan kita, harus kita
    sadari bahwa karena kerja keras tanpa kenal lelah para misionaris SCJ, Palembang dan Tanjungkarang akhirnya menjadi Keuskupan. Tentu saja kita tidak melupakan jasa para biarawati yang menyertai mereka dan para katekis serta sukarelawan penabur iman yang bekerja bahu
    membahu bersama mereka. Tahun ini kita juga merayakan 20 tahun Palembang sebagai Keuskupan Agung (sejak 1 Juli 2003). Tahun ini juga (25 Maret 2023) kita akan merayakan Pentahbisan Gereja Katedral yang baru bersamaan dengan ulang tahun episkopal ke-30 Bapa
    Uskup Emeritus Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ
  2. Dari catatan di atas, kita dapat mengatakan bahwa kita telah mewarisi iman dan sarana-prasarana menggereja yang sangat baik dari para pendahulu kita. Mari kita syukuri dan menghidupi semuanya dengan sepenuh hati. Dan mari kita lanjutkan mewariskan iman tersebut serta Gereja yang terpelihara dengan baik pada generasi sesudah kita. Mari kita bersyukur dalam koridor Visi an Spiritualitas Ardas Keuskupan. Umat Katolik Keuskupan Agung Palembang, sebagai saudarasaudari Kristus, adalah garam dan terang dunia, serta sakramen keselamatan bagi semua ciptaan (Visi). Seperti Yesus Kristus, berkenan kepada Bapa, karena kasih yang tanpa pamrih dan tidak pilih kasih dalam semangat persaudaraan sejati (Spiritualita atau Semangat Hidup). Kita
    mengimani bahwa kita adalah anak-anak Allah di dalam Kristus, saudara kita. Kita harus berusaha berkenan kepada Allah seperti Kristus berkenan kepada-Nya. Maka kita harus mengisi Tahun Syukur ini dengan perbuatan-perbuatan iman dan kemanusiaan yang menyenangkan hati Allah. Dalam semangat Sinode Gereja Universal, mari kita menatap masa depan dan mempunyai mimpi bersama seperti harapan para nabi: berjalan bersama, berduyun-duyun, dengan semua orang dari segala bangsa, dari segala latar belakang perbedaan, dengan penuh kerukunan dan damai, tanpa pedang, tanpa tombak, tanpa kebencian dan permusuhan, melainkan dalam persaudaraan yang
    sejati; mari kita tinggalkan segala yang buruk, mari hidup sebagai anak-anak terang (bdk. Yes 2: 3- 5).
  3. Dalam Luk 18: 11-14 ada kisah seorang Farisi yang naik ke Bait Allah untuk berdoa. Di belakang dia ada Pemungut Cukai yang juga sedang berdoa. Orang Farisi itu dalam doanya berkata, ”Aku bersyukur kepada-Mu, Tuhan, sebab aku bukan seperti Pemungut Cukai ini … Sementara si
    Pemungut Cukai memohon belas kasih Allah karena dia sadar dia orang berdosa. Dan Yesus mengatakan bahwa Pemungut Cukai itu pulang sebagai orang yang dibenarkan, sedangkan orang Farisi tidak. Perikope Injil ini bisa disebut sebagai kisah kesombongan manusia yang merendahkan Tuhan. Sangkanya Tuhan adalah seperti pejabat, yang bisa gampang disuap. Sebenarnya apa yang dilaporkan oleh orang Farisi itu bukanya tidak baik. Itu baik sekali: ia bukan orang lalim, bukan pezinah dan buka perampok. Ia bahkan melakukan yang lebih dari yang diwajibkan oleh Hukum Taurat. Puasa dalam Hukum Taurat hanya diwajibkan setahun sekali yakni pada hari Penebusan, tapi orang farisi itu berpuasa dua kali, bukan setahun tapi seminggu (jadi 103 x lebih banyak). Puasa seperti itu biasanya dilakukan pada hari Senin dan Kamis, itulah hari-hari pasaran di mana Yerusalem dipenuhi banyak orang, dan maka orang itu dapat memamerkan kesalehannya kesebanyak mungkin orang. Perpuluhan yang wajib dibayarkan hanyalah pendapatan yang dihasilkan oleh benih (jadi hasil pertanian), orang Farisi itu memberikan perpuluhan dari segala penghasilannya, artinya juga dari hal-hal yang tidak diwajibkan. Bukankah dia orang yang hebat? Lalu mengapa Tuhan menolak doanya? Sebab sesungguhnya dia tidak sedang berdoa, dia tidak sedang bersyukur. Apakah berdoa kalau tidak memuji Allah melainkan memuji dirinya sendiri? Apakah bisa disebut seorang yang beriman, kalau berdoa kepada diri sendiri? Bukankah dengan demikian menyamakan dirinya dengan Allah? Paling jauh bisa dikatakan: orang Farisi itu sedang membuat laporan mengenai dirinya kepada Allah. Dan kita sangat tahu, umumnya laporan orang munafik adalah palsu, tidak sesuai dengan fakta alias ABS – asal bapak senang. Laporan pertama saja sudah tidak cocok dengan sikap hidupnya: ”Aku tidak seperti semua sorang lain”. Berarti dia merasa satu-satunya orang saleh di Yerusalem. Jangan-jangan laporan selanjutnya pun justru kebalikan dari yang dia lakukan. Bukan perbuatan-perbuatan baik itu (kalau itu benar) yang menyakitkan Allah, melainkan penghinaannya kepada sesama manusia. Padahal hukum yang utama bukan hanya harus mencintai Allah saja, tetapi juga harus mencintai sesama. Perumpamaan dalam perokope Injil itu mengingatkan kita akan sikap religius yang dikehendaki Allah: rendah hati dan tahu diri. Namun sayangnya kita lebih sering memilih sikap sang Farisi. Kita adalah Farisi setiap kali berdoa dan memaksa Tuhan harus mengabulkan permohonan kita, harus mengganjari jerih payah dan pengurbanan kita. Kita adalah Farisi setiap kali kita membangun sekat dan kelompok eksklusif yang tertutup bagi orang lain, setiap kali kita rasialis, setiap kali kita menghina sesama kita dan merasa lebih baik dari sesama kita, setiap kali kita merasa harus dilayani dan memperlakukan orang lain sebagai budak. Kita adalah Farisi setiap kali kita prihatin terhadap sesama yang menderita atau malang tetapi tidak pernah mengulurkan pertolongan.
  4. Saya takut mengatakan yang berikut ini, tetapi saya harus mengatakannya karena inilah yang agaknya hidup di antara kita, yang mungkin tak pernah kita doakan, tapi sering nampak dalam sikap dan tindakan yakni: ”Aku bersyukur kepada-Mu ya Tuhan sebab aku bukan orang Lampung, sebab aku bukan keturunan Chinese, sebab aku bukan orang Batak, sebab aku bukan orang Palembang, sebab aku bukan orang Jawa, sebab aku bukan orang Belitang, sebab aku bukan orang Singkut, sebab aku bukan orang Jambi atau Bengkulu … dan seterusnya dan seterusnya. Adakah kita masing-masing dapat dianggap sebagai yang bertanggungjawab atas kesukuan kita? Bukankah masing-masing suku dan budaya itu sudah dimulai ratusan tahun yang lalu dan dibangun pelanpelan oleh jutaan orang? Kita yang ada sekarang ini hanyalah menerima warisan, baik karakter yang baik maupun karakter yang kurang baik dari jutaan manusia generasi sebelum kita. Kita semua terkondisikan dan kita tak mungkin keluar serta merta darinya. Siapapun kita tidak bisa meminta untuk dilahirkan menjadi bagian dari suku dan budaya atau bangsa tertentu. Hanya Allah lah yang menentukan. Maka merendahkan keberadaan saudara/ri kita dalam primordial budayanya adalah menghina Tuhan sendiri yang menciptakan kita terlahir dalam budaya kita. Keberadaan kita dalam keluarga dan budaya kita bukanlah salah kita, melainkan justru rencana Tuhan. Syukurilah bahwa kita masuk di dalam budaya tertentu kita, tapi hormatilah saudara-saudari kita dalam budaya mereka. Dengan masuk di dalamnya, setiap kita dipanggil untuk memberikan sumbangan terbaiknya sehingga masing-masing budaya kita berkembang ke arah yang lebih baik.
  1. Yesus juga pernah berdoa dan mengucap syukur ketika 70 murid-Nya yang diutus tugas kerasulan kembali dan melaporkan keberhasilan pekerjaan mereka kepada Yesus (Mat 11: 25). Yesus menasehati mereka agar tidak bangga akan kesuksesan lahiriah duniawi, melainkan agar bersuka cita karena nama mereka tercatat dalam Kerajaan Sorga. Bagi Yesus, bukan orang sombong yang berkenan kepada Allah, melainkan orang kecil. Yang dimaksudkan di sini pastilah orang yang
    sederhana, rendah hati dan yang mengandalkan Allah. Yesus sendiri memberikan contoh bagaimana mereka harus bersyukur. Dengan gembira Yesus bersyukur kepada Allah karena sesungguhnya semua itu adalah karya Allah dan bukan semata-mata karya para murid. Allah dan
    kehendak-Nya lah yang harus menjadi pusat syukur kita (Luk 10: 17-24). Contoh syukur lain adalah Kidung Maria (Luk 1: 46-5s5), Kidung Zakaria (Luk 1: 68-79) dan Kidung Simeon (Luk 2: 29-32). Mereka semua mengagungkan Allah yang berkarya.
  2. Dalam menghidupi iman, dalam doa dan syukur, seharusnya kita bukan mengangkat diri di atas sesama kita. Bersyukur tidak boleh sambil menyakiti, mengutuki atau menjelek-jelekkan orang lain. Kita harus ingat bahwa kita adalah bagian dari suatu pasukan besar kemanusiaan yang tidak sempurna, bahkan berdosa. Kesempurnaan Allahlah yang harus menjadi ukuran dalam mengabdi, berkarya, berkorban, dalam mencintai dan mengampuni; dan bukan kelemahan, kekurangan atau
    cacat sesama kita. Kalau kita menempatkan diri kita di samping Yesus, semua karya yang kita lakukan sebesar apapun belum berarti apa-apa. Dan kalau kita menempatkan diri di samping kekudusan Allah, kita bahkan harus sadar bahwa kita ini najis dan kotor. Di hadapan keagungan Allah sesungguhnya kita hanya bisa mengatakan seperti si Pemungut Cukai itu, ”Tuhan kasihanilah aku”. Dia tahu dengan baik bahwa Allah itu Bapa yang maha baik dan sempurna. Kita yang seharusnya tidak berharga menjadi bermartabat karena belas kasih Allah.
  3. Untuk mengimplementasikan Visi dan Spiritualitas itu menjadi nyata barangkali kita harus mencermati Misi yang telah kita hasilkan dalam Sinode III KAPal. Dengan catatan bahwa Misi itu bukan untuk dilaksanakan linear seperti garis lurus melainkan spiral, terus menerus melakukannya semuanya sejauh bisa dilakukan. Tanpa melupakan perpecahan (intern atau extern), tanpa mengabaikan luka-luka yang pernah terjadi dan kekurangan yang ada sekarang; mulailah mencatat
    hal-hal positif yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita di tempat kita masing-masing (hal-hal rohani maupun hal-hal fisik-lahiriah). Pasti ada orang-orang tertentu yang patut disebut sebagai teladan. Bagaimana semangat mereka dalam menghayati iman dan mempraktekkannya dalam hidup. Dan sambil mengkatekesekan (menceriterakan) hal itu pada Umat, pikirkanlah apa saja yang perlu atau yang bisa dilakukan ke depan di tempat Anda masing-masing. Pastilah ada orangorang yang bisa kita persiapkan atau kita orbitkan menjadi orang terpandang dan membanggakan bagi kita di masa depan. Pasti juga bisa ditemukan aksi bersama untuk kebaikan masyarakat dan lingkungan kita.
    Selamat memasuki masa Pra-Paskah. Semoga pertobatan kita berkenan pada Bapa.