Kardinal, Mgr. Ignatius Soeharyo sekaligus Uskup Agung Jakarta menceritakan tentang sosok Paus Fransiskus, kehadiran fisik Paus Fransiskus di Indonesia itu sangat penting tetapi yang juga tidak kalah penting adalah mempelajari gagasan-gagasannya, memperdalamnya, dan bukan hanya ajaran-ajaran, tetapi juga teladan hidupnya. Saya ingat betul, pada tahun 2014, ada satu penelitian yang dilakukan oleh suatu majalah internasional mengenai peranan 50 pemimpin dunia, 50. Saya terkaget-kaget pada waktu itu karena baru satu tahun sesudah Paus menjadi pimpinan Gereja Katolik dan penelitian itu menempatkan Paus Franciscus sebagai yang nomor satu dari antara 50 mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kemanusiaan.
Oleh karena itu, saya mencoba untuk meneliti, mempelajari riwayat hidupnya, apa yang beliau sampaikan, lontarkan sebagai gagasan dokumen yang ditulis, dan pilihan-pilihan hidupnya, itu ternyata berawal pada waktu beliau berusia 17 tahun. Waktu itu namanya masih Jorge Borgoglio, lalu ceritanya begini, tanggal 21 September itu di Argentina selalu menjadi hari orang-orang muda. Nah, Jorge Borgoglio mau pergi ke pesta itu, tetapi di tengah jalan, dalam perjalanan, dia melewati satu Gereja Katolik dan di situ dia melihat seorang Pastor. Maka dia mengambil keputusan untuk menerima sakramen tobat dan masuk, pengalaman akan Allah yang menancap di dalam batinnya, yaitu Allah yang Maha Rahim. Ketika dia ditanya oleh seorang wartawan, dia menjawab bahwa Allah itu bernama Kerahiman, Mercy is the name of God, inilah pengalaman yang amat mendalam.
Sumber utama dari gagasan dan pilihan-pilihan Paus Fransiskus adalah pengalaman otentik tentang Allah yang kerahimannya tanpa batas. Allah yang kerahimannya tanpa batas yang di alam itu, berbuah pada transformasi pribadi, bertransformasi, atau hidupnya diperbarui. Kalau memakai istilah yang Alkitabiah, ia mengenakan manusia baru, menanggalkan manusia lama dan transformasi pribadi itu tampak di dalam pilihan-pilihannya sampai sekarang, sangat simbolik.
Pilihan lainnya ketika pertama kali beliau keluar dari Vatikan, yang dituju adalah suatu pulau kecil di bagian selatan Italia, Pulau Lampedusa namanya. Itu adalah tempat para pengungsi imigran dari Afrika masuk ke Eropa untuk mencari hidup yang baru, seperti Pulau Galang tahun 70 an dan beliau di situ merayakan Ekaristi dengan Altarnya itu perahu rusak yang dipakai oleh para imigran menuju tanah Eropa yang baru dan tidak sampai tenggelam di laut. Nah, transformasi pribadi inilah pilihan-pilihan yang berbuah pada transformasi institusi. Gereja yang sedang berubah dan terus berubah. Bahwa sekarang beliau tidak tinggal di Istana Kepausan, tetapi tinggal bersama dengan para fungsionaris Vatikan. Pilihan yang sangat simbolik dan para wartawan membacanya ini simbol dari pergeseran dari pola kepemimpinan monarkis raja menuju kepemimpinan yang servant leadership, kepemimpinan yang melayani.
Pilihan lain yang juga sangat simbolik adalah kalau melihat misalnya pada hari Kamis Putih menjelang Paskah, itu ada upacara pembasuhan kaki, sebelumnya yang dibasuh kakinya itu 12 rasul, pasti semuanya laki-laki dan tokoh-tokoh. Orang yang terpandang. Ketika Paus Fransiskus dimulai, dalam masa pontifikatnya, yang dicuci kakinya bukan hanya laki-laki, perempuan juga, bukan hanya orang-orang terpandang, bahkan saudara-saudara kita yang sedang berada di penjara, dipanggil dan dibasuh dan dicium kakinya. Bukan hanya orang Katolik, tetapi muslim juga dicuci kakinya.
Transformasi institusi yang sedang berjalan di dalam Gereja, dan transformasi itulah yang sedang berjalan dalam sinode yang sudah berlangsung tahun 2023, sampai tahun 2024, dan tentu saja, transformasi itu bisa bermacam-macam buahnya. Harapannya sekarang kalau kita bisa belajar dari Paus Fransiskus, kita semua orang-orang beriman, kalau proses ini berjalan di dalam bangsa Indonesia, negara kita akan menjadi negara yang seperti dicita-citakan dalam pembukaan undang-undang dan cita-cita kita tidak sekedar menunggu, berharap artinya berjuang. Dalam perumusan iman katolik, Allah yang telah memulai karya yang baik, akan menyelesaikannya juga. Dan berjuang, itu adalah bagian dari harapan, kita bersyukur, bahwa ada banyak tanda-tanda pengharapan.
Ada komunitas-komunitas kecil yang berjuang untuk kesetaraan gender misalnya, itu tanda pengharapan. Komunitas-komunitas yang karena tergerak hatinya, tanpa bantuan dari siapapun, mengundang teman-temannya untuk bergerak di dalam menanggulangi stunting, ini juga tanda pengharapan. Ada sekian banyak orang-orang muda yang berusaha untuk saling berdialog untuk bercerita mengenai agamanya, supaya karena mengenal, semakin dekat relasinya, maka semakin mudahlah harapan pemerintah untuk mengembangkan moderasi beragama. Paus Fransiskus adalah peziarah pengharapan dan semoga, kita semua masyarakat Indonesia, semakin terdorong untuk menjadi tanda-tanda pengharapan di dalam tindakan-tindakan yang sungguh-sungguh memuliakan martabat manusia, selalu mengusahakan kebaikan bersama.
Saya ingin mengutip salah satu penulis sejarah Inggris yang bernama Arnold Twente yang meneliti sejarah sepanjang 19 abad dan sampai kepada kesimpulan, sejarah manusia, umat manusia itu naik turun, kadang-kadang hebat dan jatuh. Lalu dikatakan bahwa kalau sejarah umat manusia itu tidak sampai hancur, yang menyelamatkan sejarah umat manusia itu adalah minoritas kreatif, bukan minoritas mayoritas. Tetapi saudara-saudara kita yang mempunyai keyakinan iman kuat, mempunyai idealisme mulia, itulah yang menyelamatkan sejarah umat manusia dan kita semua tahu, kalau membuka macam-macam kegiatan di negara kita ini, amat banyak kelompok-kelompok kecil, komunitas-komunitas kecil yang menjadi tanda-tanda pengharapan itu.
Sumber Data : Konfres Persiapan Final Kunjungan Paus Fransiskus (KOMSOS KWI)
Sumber Foto : Kompas.com